ASKEP KLIEN CA
KELENJAR GETAH BENING
ASUHAN KEPERAWATAN
KLIEN DENGAN CA
KELENJAR GETAH BENING
1. Konsep Teori
1.1 Pengertian
Ca getah bening
adalah kanker yang menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah
bening, sel tersebut cepat menggandakan diri dan tumbuh secara tidak
terkontrol, Limfoma Non Hodgkin disingkat jadi LNH.
1.2 Etiologi
Adanya mutasi sel
limfosit (sejenis sel darah putih) yang sebelumnya normal menjadi tidak
terkontrol dan tumbuh secara cepat. Seperti halnya limfosit normal, limfosit
ganas dapat tumbuh pada berbagai organ dalam tubuh termasuk kelenjar getah
bening, limpa, sumsum tulang, darah ataupun organ lain.
Cairan limfatik
adalah cairan putih menyerupai susu yang mengandung protein lemak dan limfosit
yang semuanya mengalir ke seluruh tubuh lewat pembuluh limfatik. Ada dua macam
sel limfosit yaitu sel B dan T. Sel B berfungsi membantu melindungi tubuh
melawan bakteri dengan membuat antibodi yang memusnahkan bakteri. Gejala dan
penyakit kanker kelenjar getah bening meliputi pembengkakan kelenjar getah
bening pada leher, ketiak atau pangkal paha. Pembengkakan kelenjar tadi dapat
dimulai dengan gejala penurunan berat badan secara drastis, rasa lelah yang
terus menerus, batuk-batuk dan sesak napas, gatal-gatal, demam tanpa sebab dan
berkeringat malam hari.
Karena limfosit
bersirkulasi ke seluruh tubuh, maka selain di kelenjar getah bening tempat yang
paling sering terkena Limfoma adalah limpa dan sumsum tulang. Selain itu bisa
terbentuk di perut, hati atau yang jarang sekali di otak. Seringkali lebih dari
satu bagian tubuh terserang oleh penyakit ini. Limfoma pada otak atau urat
saraf tulang belakang disebut limfoma susunan saraf pusat (SSP). Penyakit
Limfoma dapat menyerang disegala usia, namun lebih sering menyerang usia tua
kurang lebih 65 tahun.
Tidak ada bukti
adanya faktor keturunan yang berhubungan dengan kasus-kasus limfoma non
Hodgkin. Penyebab pasti dari penyakit Limfoma sampai saat ini belum diketahui.
Namun ada beberapa faktor yang menunjang penyakit ini yaitu:
1. Beberapa infeksi
seperti HIV/AIDS, leukemia, dan Epstein-Barr virus (EBV).
Orang dengan HIV
positif lebih mungkin mengidap Limfoma non Hodgkin dari pada orang lainnya.
Virus Epstein-Barr adalah virus yang umum, menyerang kebanyakan orang pada
suatu waktu tertentu dalam masa hidupnya, dan mengakibatkan infeksi singkat
atau demam glandular. Akan tetapi, dalam sejumlah kecil kasus ekstrim, ia
dikaitkan dengan Limfoma Burkitt dan bentuk limfoma non Hodgkin yang
berhubungan dengan imunosupresi.
Limfoma Burkitts
adalah bentuk sangat agresif dari Limfoma non Hodgkin. Pengobatan harus agresif
dan umumnya melibatkan pengobatan yang ditujukan pada susunan saraf pusat
ditambah regimen kemoterapi intravena. Pasien seringkali diberikan kemoterapi
intensif yang melibatkan banyak obat, dan perlu dirawat di rumah sakit selama
pengobatannya. Meski demikian, mayoritas pasien yang berusia lebih muda dengan
bentuk penyakit ini dapat disembuhkan.
2. Penyakit dan
obat-obatan yang dapat melemahkan system kekebalan.
1.3 Gejala Ca getah
bening
Gejala pada Limfoma
secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, tidak terasa nyeri, mudah
digerakkan, dan tidak ada tanda-tanda radang. Hal ini dapat segera dicurigai
sebagai Limfoma non-Hodgkin. Namun , tidak semua benjolan yang terjadi di
sistem limfatik merupakan Limfoma. Bisa saja benjolan tersebut hasil perlawanan
kelenjar limfa dengan sejenis virus atau mungkin tuberkulosis limfa.
Terdapat 3 gejala
spesifik pada Limfoma :
- Demam
berkepanjangan dengan suhu lebih dari 38 oC
- Sering keringat
malam
- Kehilangan berat
badan lebih dari 10% dalam 6 bulan
1.4 Diagnosis
Untuk mendeteksi
Limfoma memerlukan pemeriksaan seperti sinar-X, CT scan, PET scan, biopsi
sumsum tulang dan pemeriksaan darah. Biopsi atau penentuan stadium adalah cara
mendapatkan contoh jaringan untuk membantu dokter mendiagnosis Limfoma non
Hodgkin.
Ada beberapa jenis
biopsi:
- Biopsi kelenjar
getah bening, jaringan diambil dari kelenjar getah bening yang membesar
- Biopsi aspirasi
jarum-halus, jaringan diambil dari kelenjar getah bening dengan jarum suntik.
Ini kadang-kadang dilakukan untuk memantau respon terhadap pengobatan.
- Biopsi sumsum
tulang di mana sumsum tulang diambil dari tulang panggul untuk melihat apakah
Limfoma non Hodgkin telah melibatkan sumsum tulang.
Penyebaran Limfoma
dapat dikelompokkan dalam 4 stadium. Stadium I dan II sering dikelompokkan
bersama sebagai stadium awal penyakit, sementara stadium III dan IV
dikelompokkan bersama sebagai stadium lanjut.
- Stadium I :
Penyebaran Limfoma hanya terdapat pada satu kelompok yaitu kelenjar getah
bening
- Stadium II :
Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok kelenjar getah bening,
tetapi hanya pada satu sisi diafragma, serta pada seluruh dada atau perut.
- Stadium III :
Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok kelenjar getah bening,
serta pada dada dan perut.
- Stadium IV :
Penyebaran Limfoma selain pada kelenjar getah bening setidaknya pada satu organ
lain juga seperti sumsum tulang, hati, paru-paru, atau otak
1.5 Terapi/Pengobatan
Pengobatan pada
Limfoma Non Hodgkin dapat dilakukan melalui beberapa cara, sesuai dengan
diagnosis dari beberapa faktor seperti apakah pernah kambuh, stadium berapa,
umur, kondisi badan, kebutuhan dan keinginan pasien. Secara garis besar
penyembuhan terjadi sekitar 93%, membuat penyakit ini sebagai salah satu kanker
yang paling dapat disembuhkan.
Berikut ini cara-cara
pengobatan penyakit Limfoma : Kemoterapi, Terapi antibodi monoklonal, Terapi
Radiasi, Transplantasi, Pembedahan, Terapi eksperimental, atau Penatalaksanaan
gejala. (Tentu saja keputusan dari dokter, bukan dari kita)
1.5.1 Kemoterapi
Obat-obat kemoterapi
bertujuan untuk merusak dan membunuh semua sel limfoma di seluruh tubuh.
Sasarannya adalah semua sel yang membelah dengan cepat. Salah satu obat
kemoterapi yang paling sering diberikan adalah chlorambucil, dalam bentuk
tablet yang diberikan per oral.
1.5.2 Radioterapi
Digunakan jika
penyakitnya hanya pada satu atau dua daerah tubuh. Kemoterapi dosis tinggi
merupakan pilihan pengobatan selanjutnya yang berguna pada sebagian pasien.
1.5.3 Antibodi
monoclonal
Yang paling umum
dipakai dalam pengobatan Limfoma non Hodgkin adalah rituximab. Rituximab
efektif dalam pengobatan beberapa tipe Limfoma non Hodgkin yang paling umum.
Rituximab umumnya diberikan dalam kombinasi dengan kemoterapi, meskipun pada beberapa
keadaan diberikan tunggal. Tujuan pengobatan ini adalah untuk menghancurkan
sel-sel limfoma non Hodgkin secara khusus dan tidak mengganggu jenis-jenis sel
lainnya.
1.5.4 Pengobatan
dengan radiasi
Membunuh sel-sel di
tubuh dengan merusak DNA, sehingga sel tidak dapat memperbaiki kerusakan yang
terjadi. Karena radiasi dapat membunuh sel normal bersama sel yang sakit,
penting bahwa pemakaian radiasi sebagai terapi diarahkan setepat mungkin pada
sel yang menimbulkan penyakit sebagai upaya mengurangi efek samping. Umumnya
diberikan pada pasien yang hanya memiliki satu atau dua kelenjar getah bening
yang terserang. Di sini, berkas radiasi dipusatkan pada daerah yang terkena
untuk membunuh sel-sel yang sakit.
1.5.5 Transplantasi
berguna untuk menghancurkan sumsum tulang
Selanjutnya
digantikan dengan sel-sel induk yang ditransplantasikan. Biasanya melibatkan
pemakaian kemoterapi dosis tinggi atau dengan radioterapi. Transplantasi dibagi
dalam 2 kelompok :
- Alogenik (berbeda
secara genetik), sel induk berasal dari orang lain donor. Donor dapat berupa
keluarga, idealnya saudara kembar
- Otologus (dari
tubuh pasien sendiri), sel induk berasal dari pasien sendiri, dikumpulkan
sebelum kemoterapi dosis tinggi, kemudian akan ditransplantasikan kembali pada
mereka.
1.5.6 Pembedahan
dapat dilakukan dengan cara splenektomi
Jika limpa sudah
terkena limfoma non Hodgkin, pengangkatan ini dikenal sebagai splenektomi. Ini
dilakukan dengan anestesi umum. Orang yang telah menjalani splenektomi lebih
mungkin terkena infeksi bakteri, dan seharusnya mendapat vaksinasi untuk
mencegahnya.
1.5.7 Pengobatan
terapi eksperimental
Pengobatan jenis ini
hanya akan disarankan oleh dokter jika jenis-jenis pengobatan yang tersebut di
atas belum bisa berhasil. Pengobatan ini ditujukan pada pasien yang menderita
Limfoma non Hodgkin yang selalu kambuh setelah pengobatan atau tidak memberikan
respon sama sekali terhadap pengobatan normal. Ini disebabkan karena pengobatan
eksperimental dapat menimbulkan lebih banyak efek samping daripada pengobatan
yang sudah standar. Hanya pada kasus-kasus tertentu ahli akan menganjurkan
penggunaan pengobatan yang baru atau eksperimental tanpa mencoba lebih dulu
pengobatan yang sudah teruji.
2. Asuhan Keperawatan
2.1 Pengkajian
a. Meliputi nama,
jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan, dll.
b. Alasan MRS: hal
apa yang bisa menyebabkan sampai masuk rumah sakit.
c. Riwayat kesehatan
▪ Riwayat kesehatan
sekarang: keluhan apa yang sekarang dirasakan oleh pasien.
▪ Riwayat kesehatan
dahulu: apakah sebelumnya pasien pernah menderita penyakit yang sekarang
dideritanya atau tidak, atau mungkin sebelumnya pernah menderita penyakit yang
lain.
▪ Riwayat kesehatan
keluarga: apakah ada keluarga pasien yang menderita penyakit yang sama seperti
yang dialami oleh pasien.
▪ Pola istirahat dan
tidur: bagaimana pola istirahat dan tidur pasien sebelum dan saat masuk rumah
sakit.
▪ Pola nutrisi:
bagaimana pola asupan nutrisi pasien baik kebutuhan makan dan kebutuhan cairan
sebelum dan saat masuk rumah sakit.
▪ Pola eliminasi:
bagaimana pola eliminasi alvi dan eliminasi urine pasien yang meliputi
bagaimana volumenya, konsistensinya, dan kontinuitas eliminasi, baik sebelum
dan saat masuk rumah sakit.
▪ Pola hubungan dan
peran: bagaimana peran pasien dalam hubungannya dengan keluarga dan orang lain
baik sebelum dan saat masuk rumah sakit.
▪
▪ Pemeriksaan fisik:
pemeriksaan yang dilakukan terhadap fisik pasien yang berkaitan dengan penyakit
yang diderita oleh pasien untuk melakukan pengambilan data-data kesehatan
pasien serta untuk mengambil langkah yang tepat dalam pemberian terapi lebih
lanjut.
▪ Pemriksaan
penunjang: pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap sampel yang telah
diambil dari pasien yang berguna sebagai data penunjang untuk membantu
menentukan terapi yang diberikan kepada pasien.
2.2 Analisa data
Yaitu pengambilan
data-data pasien yang telah ada yang diambil dari pengkajian dari pemeriksaan
fisik dan pemerikasaan penunjang untuk dilakukan penentuan diagnose keperawatan
beserta intervensinya yang berkaitan dengan penyakit yang diderita oleh pasien.
2.3 Diagnosa
keperawatan
Ansietas berhubungan
dengan pembengkakan kelenjar getah bening
2.4 Intervensi
▪ Mengkaji ukuran
pembengkakan.
▪ Mengkaji
karakteristik pembengkakan.
▪ Memberikan
informasi kepada pasien.
▪ Membantu mengatur
posisi pasien dengan memperhatikan daerah pembengkakan.
DAFTAR PUSTAKA
Jonhson,Marion;Maas,Maridean,Moorhead,Sue.2000.Nursing
Outcomes Classification (NOC).Phiadelphia:Mosby.
Tinggalkan sebuah Komentar
Ditulis dalam
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH (KMB) | Tag:ASKEP, GETAH BENING, KELENJAR
Oleh: wantohape |
Januari 21, 2010
ASKEP KLIEN HEMOFILIA
ASUHAN KEPERAWATAN
KLIEN DENGAN
HEMOFILIA
1. Konsep Teori
1.1 Pengertian
Hemofilia adalah
kelainan perdarahan yang disebabkan adanya kekurangan salah satu faktor
pembekuan darah. Hemofilia merupakan penyakit gangguan pembekuan darah dan
diturunkan oleh melalui kromoson X. Hemofilia di bedakan menjadi dua, yaitu
Hemofilia A yang ditandai karena penderita tidak memiliki zat antihemofili
globulin ( faktor VIII ), Hemofilia B atau Penderita tidak memiliki komponen
plasma tromboplastin ( faktor IX ).
1.2 Etiologi
Hemofilia merupakan
gangguan koagulasi herediter atau didapat yang sering dijumpai. Hal ini bisa
terjadi karena mutasi gen faktor pembekuan darah yaitu faktor VIII atau faktor
IX kedua gen tersebut terletak pada kromosom X, sehingga termasuk penyakit
resesif. Hemofilia lebih banyak terjadi pada laki-laki, karena mereka hanya mempunyai
satu kromosom X, sedangkan wanita umumnya sebagai pembawa sifat saja (carier).
Namun wanita juga bisa menderita hemofilia jika mendapatkan kromosom X dari
ayah hemofilia dan ibu pembawa carrier dan bersifat letal.
1.3 Patofisiologi
Perdarahan karena
gangguan pada pembekuan biasanya terjadi pada jaringan yang letaknya dalam
seperti otot, sendi, dan lainnya yang dapat terjadi kerena gangguan pada tahap
pertama, kedua dan ketiga, disini hanya akan di bahas gangguan pada tahap
pertama, dimana tahap pertama tersebutlah yang merupakan gangguan mekanisme
pembekuan yang terdapat pada hemofili A dan B. Perdarahan mudah terjadi pada
hemofilia, dikarenakan adanya gangguan pembekuan, di awali ketika seseorang
berusia ± 3 bulan atau saat akan mulai merangkak maka akan terjadi perdarahan
awal akibat cedera ringan, dilanjutkan dengan keluhan-keluhan berikutnya.
Hemofilia juga dapat
menyebabkan perdarahan serebral, dan berakibat fatal. Rasionalnya adalah ketika
mengalami perdarahan, berarti terjadi luka pada pembuluh darah (yaitu saluran
tempat darah mengalir keseluruh tubuh). Darah keluar dari pembuluh. Pembuluh
darah mengerut/ mengecil kemudian Keping darah (trombosit) akan menutup luka
pada pembuluh apabila kekurangan jumlah factor pembeku darah tertentu, mengakibatkan
anyaman ( Benang Fibrin) penutup luka tidak terbentuk sempurna, akibatnya darah
tidak berhenti mengalir keluar pembuluh. Sehingga terjadilah perdarahan.
1.4 Diagnosis
Pemeriksaan Lab.
darah
Hemofilia A :
- Defisiensi factor
VIII
- PTT (Partial Thromboplastin
Time) amat memanjang
- PT (Prothrombin
Time/ waktu protombin) memanjang
- TGT (Thromboplastin
Generation Test)
- Jumlah trombosit
dan waktu perdarahan normal
Hemofilia B :
- Defisiensi factor
IX
- PTT (Partial
Thromboplastin Time) amat memanjang
- PT (Prothrombin
Time)/ waktu protombin dan waktu perdarahan normal
- TGT (Thromboplastin
Generation Test)
1.5 Komplikasi,
manifestasi klinis dan anamnesa.
Pada hemofilila dapat
terjadi komplikasi seperti di bawah ini, yaitu:
a) Adanya Nyeri.
b) Bengkak pada
persendian
c) Terjadi Anemia.
d) Kelainan bentuk
sendi dan otot.
e) Gangguan
Mobilisasi.
Adapun manifestasi
klinis yang dapat terjadi pada hemophilia:
a) Perdarahan hebat
setelah suatu trauma ringan
b) Perdarahan spontan
yang berulang-ulang pada sendi-sendi.
c) Perdarahan yang
luar biasa setelah Ekstraksi Gigi.
d) Hematom pada
jaringan lunak
e) Hemartrosis dan
kontraktur sendi
f) Hematuria
g) Perdarahan
serebral
Anamnesa Atau
Pemeriksaan Fisik
a. Aktivitas
Tanda : Kelemahan
otot
Gejala : kelelahan,
malaise, ketidakmampuan melakukan aktivitas.
b. Sirkulasi
Tanda : kulit,
membran mukosa pucat, defisit saraf serebral/ tanda
perdarahan serebral
Gejala : Palpitasi
c. Eliminasi
Gejala : Hematuria
d. Integritas Ego
Tanda : Depresi,
menarik diri, ansietas, marah.
Gejala : Perasaan
tidak ada harapan dan tidak berdaya.
e. Nutrisi
Gejal : Anoreksia,
penurunan berat badan.
f. Nyeri
Tanda :.Perilaku
berhati-hati, gelisah, rewel.
Gejala : Nyeri
tulang, sendi, nyeri tekan sentral, kram otot
g. Keamanan
Tanda : Hematom.
Gejala : Riwayat
trauma ringan.
-Terjadi perdarahan
spontan pada sendi dan otot yang berulang disertai dengan rasa
nyeri dan terjadi
bengkak.
-Perdarahan sendi
yang berulang menyebabkan menimbulkan Atropati hemofilia
dengan menyempitnya
ruang sendi, krista tulang dan gerakan sendi yang terbatas.
-Biasanya perdarahan
juga dijumpai pada Gastrointestinal, hematuria yang
berlebihan, dan juga
perdarahan otak.
-Terjadi Hematoma
pada Extrimitas.
-Keterbatasan dan
nyeri sendi yang berkelanjutan pada perdarahan.
1.6 Terapi pengobatan
hemofilia
Terapi akibat
perdarahan akut adalah pemberian F VIII. Sekarang sudah ada F VIII yang dapat
di berikan secara intra vena, dan apabila tidak mempunyai F VIII maka dapat di
berikan kriopresipitat (plasma yang didinginkan) atau di berikan transfusi
darah segar.
2. Asuhan Keperawatan
2.1 Pengkajian
a. Meliputi nama,
jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan, dll.
b. Alasan MRS: hal
apa yang bisa menyebabkan sampai masuk rumah sakit.
c. Riwayat kesehatan
▪ Riwayat kesehatan
sekarang: keluhan apa yang sekarang dirasakan oleh pasien.
▪ Riwayat kesehatan
dahulu: apakah sebelumnya pasien pernah menderita penyakit yang sekarang
dideritanya atau tidak, atau mungkin sebelumnya pernah menderita penyakit yang
lain.
▪ Riwayat kesehatan
keluarga: apakah ada keluarga pasien yang menderita penyakit yang sama seperti
yang dialami oleh pasien.
▪ Pola istirahat dan
tidur: bagaimana pola istirahat dan tidur pasien sebelum dan saat masuk rumah
sakit.
▪ Pola nutrisi:
bagaimana pola asupan nutrisi pasien baik kebutuhan makan dan kebutuhan cairan
sebelum dan saat masuk rumah sakit.
▪ Pola eliminasi:
bagaimana pola eliminasi alvi dan eliminasi urine pasien yang meliputi
bagaimana volumenya, konsistensinya, dan kontinuitas eliminasi, baik sebelum
dan saat masuk rumah sakit.
▪ Pola hubungan dan
peran: bagaimana peran pasien dalam hubungannya dengan keluarga dan orang lain
baik sebelum dan saat masuk rumah sakit.
▪ Pemeriksaan fisik:
pemeriksaan yang dilakukan terhadap fisik pasien yang berkaitan dengan penyakit
yang diderita oleh pasien untuk melakukan pengambilan data-data kesehatan
pasien serta untuk mengambil langkah yang tepat dalam pemberian terapi lebih
lanjut.
n Pemriksaan
penunjang: pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap sampel yang telah
diambil dari pasien yang berguna sebagai data penunjang untuk membantu
menentukan terapi yang diberikan kepada pasien.
2.2 Analisa data
Yaitu pengambilan
data-data pasien yang telah ada yang diambil dari pengkajian dari pemeriksaan
fisik dan pemerikasaan penunjang untuk dilakukan penentuan diagnose keperawatan
beserta intervensinya yang berkaitan dengan penyakit yang diderita oleh pasien.
2.3 Diagnose
keperawatan
Resiko kekurangan
volume cairan b.d faktor resiko kehilangan cairan melalui rute abnormal
(perdarahan).
2.4 Intervensi.
▪ Monitor pasien
dalam penghentian perdarahan.
▪ Catat jumlah Hb/
hematokrit sebelum dan sesudah perdarahan,
▪ Lindungi pasien
dari trauma dimana kemungkinan bisa menyebabkan perdarahan.
▪ Identifikasi
penyabab perdarahan.
▪ Monitor jumlah dan
pembawaan darah yang keluar.
▪ Menginstruksikan
pasien dalam pembatasan aktivitas, jika memungkinkan.
DAFTAR PUSTAKA
-Murray, Robert
K.2003.Biokimia Harper Edisi 25. Jakarta: EGC.
-Sudoyo, Aru W. 2007.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV jilid 2. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
- Anonym. Hemofilia.
http://healthresources.caremark.com/Imagebank/Articles_images/ Hemophilia.gif
[Desember, 2nd 2007]
-Anonym. Hemofilia.
http://healthresources.caremark.com/Imagebank/Articles_images/
Hemophilia_02.gif [Desember, 2nd 2007]
-Anonim. 1998.
Perawatan Kesehatan Penderita Hemofilia. http://www.hemofilia.or.id/perawatan.php
[Desember, 2nd 2007]
-Anonim. 1998.
Keturunan Hemofilia. http://www.hemofilia.or.id/keturunan.php [Desember, 2nd
2007]
Tinggalkan sebuah
Komentar
Ditulis dalam
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH (KMB)
Oleh: wantohape |
Januari 7, 2010
ASKEP HEPATOMA
ASKEP HEPATOMA
2.2.1 Pengertian
Hepatoma
Karsinoma
hepatoseluler atau hepatoma adalah tumor ganas hati primer dan paling sering
ditemukan daripada tumor ganas hati primer lainnya seperti limfoma maligna,
fibrosarkoma, dan hemangioendotelioma.
Hepatocellular
Carcinoma (HCC) atau disebut juga hepatoma atau kanker hati primer atau
Karsinoma Hepato Selular (KHS) adalah satu dari jenis kanker yang berasal dari
sel hati.
Hepatoma biasa dan
sering terjadi pada pasien dengan sirosis hati yang merupakan komplikasi
hepatitis virus kronik. Hepatitis virus kronik adalah faktor risiko penting
hepatoma, virus penyebabnyaadalah virus hepatitis B dan C.
2.2.2. Faktor
Penyebab Hepatoma
Belum diketahui
penyebab penyakit ini secara pasti, tapi dari kajian epidemiologi dan biologi
molekuler di Indonesia sudah terbukti bahwa penyakit ini berhubungan erat
dengan sirrhosis hati, hepatitis virus B aktif ataupun hepatitis B carrier, dan
hepatitis virus C dan semua mereka ini termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang
berisiko tinggi untuk mendapatkan kanker hati ini.
Faktor lain yang
diduga sebagai penyebab kanker hati ini adalah aflatoksinB1 yaitu racun
yangdihasilkan oleh sejenis jamur Aspergillus flavus yang terkontaminasi dan
melekat pada permukaan makanan seperti beras, kacang, gandum, jagung, dan
kacang kedelai yang disimpan pada tempat yang panas dan lembab. AflatoksinB1
yang ikut masuk ke tubuh melalui makanan diperkirakan dapat memicu mutasi P53
gene di dalam sel hati yang seterusnya menimbulkan kanker sel hati.
Bahan-bahan
karsinogenik (penyebab kanker) tertentu juga menyebabkan hepatoma. Di daerah
subtropis, dimana hepatoma banyak terjadi, makanan sering tercemar oleh bahan
karsinogenik yang disebut aflatoksin, yang dihasilkan oleh sejenis jamur. Bahan-bahan
Hepatokarsinogenik SEPERTI:
§ Aflatoksin
§ Alkohol
§ Penggunaan steroid
anabolic
§ Penggunaan androgen
yang berlebihan
§ Bahan kontrasepsi
oral
§ Penimbunan zat besi
yang berlebihan dalam hati (Hemochromatosi)
2.2.3. Gejala-Gejala
Hepatoma
Hepatoma seringkali
tak terdiagnosis karena gejala karsinoma tertutup oleh penyakit yang mendasari
yaitu sirosis hati atau hepatitis kronik. Pada permulaannya penyakit ini
berjalan perlahan, malah banyak tanpa keluhan. Lebih dari 75% tidak memberikan
gejala-gejala khas. Ada penderita yang sudah ada kanker yang besar sampai 10 cm
pun tidak merasakan apa-apa.
Keluhan utama yang
sering adalah :
• Keluhan sakit perut
atau rasa penuh ataupun ada rasa bengkak di perut kanan atas
• Nafsu makan
berkurang,
• Berat badan
menurun, dan rasa lemas.
• Keluhan lain
terjadinya perut membesar karena ascites (penimbunan cairan dalam rongga
perut), mual, tidak bisa tidur, nyeri otot, berak hitam, demam, bengkak kaki,
kuning, muntah, gatal, muntah darah, perdarahan dari dubur, dan lain-lain.
Jika gejala tampak,
biasanya sudah stadium lanjut dan harapan hidup sekitar beberapa minggu sampai
bulan..Pemeriksaan Alfa Feto Protein(AFP) sangat berguna untuk menegakkan
diagnosis penyakit hepatoma ini Penggunaan ultrasonografi ( USG ), Computed
Tomographic Scanning (CT Scan), Magnetic Resonance Imaging (MRI) penting untuk
menegakkan diagnosis dan mengetahui ukuran tumor.
2.2.4. Deteksi Dini
Hepatoma
Dengan perkembangan
teknologi yang kian canggih dan kian maju pesat, maka berkembang pulalah
cara-cara diagnosa dan terapi yang lebih menjanjikan dewasa ini. Kanker hati
selular yang kecil pun sudah bisa dideteksi lebih awal terutamanya dengan
pendekatan radiologi yang akurasinya 70 – 95% dan pendekatan laboratorium
alphafetoprotein yang akurasinya 60 – 70%.
Kriteria diagnosa
Kanker Hati Selular (KHS) menurut PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia),
yaitu:
a. Hati membesar
berbenjol-benjol dengan/tanpa disertai bising arteri.
b. AFP
(Alphafetoprotein)yang meningkat lebih dari 500 mg per ml.
c. Ultrasonography
(USG), Nuclear Medicine, Computed Tomography Scann (CT Scann), Magnetic
Resonance Imaging (MRI), Angiography, ataupun Positron Emission Tomography
(PET) yang menunjukkan adanya KHS.
d. Peritoneoscopy dan
biopsi menunjukkan adanya KHS.
e. Hasil biopsi atau
aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan KHS.
Diagnosa KHS
didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima kriteria atau hanya satu yaitu
kriteria empat atau lima.
2.2.5 Patofisiologi
Hepatoma
Hepatoma 75 % berasal
dari sirosis hati yang lama/menahun. Khususnya yang disebabkan oleh alkoholik
dan postnekrotik.
Pedoman diagnostik
yang paling penting adalah terjadinya kerusakan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Pada penderita sirosis hati yang disertai pembesaran hati mendadak.
Tumor hati yang
paling sering adalah metastase tumor ganas dari tempat lain. Matastase ke hati
dapat terdeteksi pada lebih dari 50 % kematian akibat kanker. Hal ini benar,
khususnya untuk keganasan pada saluran pencernaan, tetapi banyak tumor lain
juga memperlihatkan kecenderungan untuk bermestatase ke hati, misalnya kanker
payudara, paru-paru, uterus, dan pankreas.
Diagnosa sulit
ditentukan, sebab tumor biasanya tidak diketahui sampai penyebaran tumor yang
luas, sehingga tidak dapat dilakukan reseksi lokal lagi.
2.2.6. Stadium
Hepatoma
Stadium I : Satu
fokal tumorberdiameter \ hati.
Stadium II : Satu
fokal tumor berdiameter > 3 cm. Tumor terbatas pada segment I atau multi-fokal
tumor terbatas padlobus kanan atau lobus kiri hati.
Stadium III :
Tumorpada segment I meluas ke lobus kiri (segment IV) atau ke lobus kanan
segment V dan VIII atau tumordengan invasi peripheral ke sistem pembuluh darah
(vascular) atau pembuluh empedu (biliary duct) tetapi hanya terbatas pada lobus
kanan atau lobus kiri hati.
Stadium IV
:Multi-fokal atau diffuse tumor yang mengenai lobus kanan dan lobus kiri hati.
- atau tumor dengan
invasi ke dalam pembuluh darah hati (intra hepaticvaskuler ) ataupun pembuluh
empedu (biliary duct)
- atau tumor dengan
invasi ke pembuluh darah di luar hati (extra hepatic vessel) seperti pembuluh
darah vena limpa (vena lienalis)
- atau vena cava
inferior-atau adanya metastase keluar dari hati (extra hepatic metastase)
2.2.7. Pemeriksaan
Laboratorium
Sensitivitas
Alphafetoprotein (AFP) untuk mendiagnosa KHS 60% – 70%, artinya hanya pada 60%
– 70% saja dari penderita kanker hati ini menunjukkan peninggian nilai AFP,
sedangkan pada 30% – 40% penderita nilai AFP nya normal. Spesifitas AFP hanya
berkisar 60% artinya bila ada pasien yang diperiksa darahnya dijumpai AFP yang
tinggi, belum bisa dipastikan hanya mempunyai kanker hati ini sebab AFP juga
dapat meninggi pada keadaan bukan kanker hati seperti pada sirrhosis hati dan
hepatitis kronik, kanker testis, dan terratoma.
A .BIOPSI
Biopsi aspirasi
dengan jarum halus (fine needle aspiration biopsy) terutama ditujukan untuk
menilai apakah suatu lesi yang ditemukan pada pemeriksaan radiologi imaging dan
laboratorium AFP itu benar pasti suatu hepatoma. Tindakan biopsi aspirasi yang
dilakukan oleh ahli patologi anatomi ini hendaknya dipandu oleh seorang ahli
radiologi dengan menggunakan peralatan ultrasonografi atau CT scann fluoroscopy
sehingga hasil yang diperoleh akurat. Cara melakukan biopsi dengan dituntun
oleh USG ataupun CTscann mudah, aman, dan dapat ditolerir oleh pasien dan tumor
yang akan dibiopsi dapat terlihat jelas pada layar televisi berikut dengan
jarum biopsi yang berjalan persis menuju tumor, sehingga jelaslah hasil yang
diperoleh mempunyai nilai diagnostik dan akurasi yang tinggi karena benar
jaringan tumor ini yang diambil oleh jarum biopsi itu dan bukanlah jaringan
sehat di sekitar tumor.
B .RADIOLOGI
Pesatnya kemajuan
teknologi dan komputer membawa serta juga kemajuan dalam bidang radiologi baik
peralatannya maupun teknologinya dan peningkatan keahlian dokter spesialis
radiologi di bidangnya sehingga dengan demikianmenghantarkan radiologi berada
di barisan depan dalam penanggulangan penyakit kanker hati ini dan membuktikan
pula dirinya berperan sangat penting untuk mendeteksi kanker hati stadium dini
dan berperan sangat menentukan dalam pengobatannya.
Kanker hepato selular
ini bisa dijumpai di dalam hati berupa benjolan berbentuk kebulatan (nodule)
satu buah,dua buah atau lebih atau bisa sangat banyak dan diffuse (merata) pada
seluruh hati atau berkelompok di dalam hati kanan atau kiri membentuk benjolan
besar yang bisa berkapsul.
Dengan peralatan
radiologi yang baik dan ditangani oleh dokter spesialisradiologi yang
berpengalaman sudah terjamin dapat mendeteksi tumor dengan diameter kurang dari
1 cm dan dapatlah menjawab semua pertanyaan seputar kanker ini antara lain
berapa banyak nodule yang dijumpai, berapa segment hati yang terkena, bagaimana
aliran darah ke kanker yang dilihat itu apakah sangat banyak (lebih ganas),
apakah sedang (tidak begitu ganas) atau hanya sedikit (kurang ganas), yang
penting lagi apakah ada sel tumor ganas ini yang sudah berada di dalam aliran
darah vena porta, apakah sudah ada sirrhosis hati, dan apakah kanker ini sudah
berpindah keluar dari hati (metastase) ke organ-organ tubuh lainnya.
Kesemua jawaban
inilah yang menentukan stadium kankernya, apakah pasien ini menderita kanker
hati stadium dini ataustadium lanjut dan juga menentukan tingkat keganasan
kankernya sehingga dengan demikian dapatlah ditaksir prognosanya, penderita
dapat disembuhkan sehingga bisa hidup lama atau sudah memang tak tertolong lagi
dan tak dapat bertahan hidup lebih lama lagi dari 6 bulan.
C . ULTRASONOGRAFI
Dengan USG hitam
putih (grey scale) yang sederhana (conventional) hati yang normal tampak warna
ke-abuan dan texture merata (homogen). Bila ada kanker langsung dapat terlihat
jelas berupa benjolan (nodule) berwarna kehitaman, atau berwarna kehitaman
campur keputihan dan jumlahnya bervariasi pada tiap pasien bisa satu, dua atau
lebih atau banyak sekali dan merata pada seluruh hati, ataukah satu nodule yang
besar dan berkapsul atau tidak berkapsul. Sayangnya USG conventional hanya
dapat memperlihatkan benjolan kanker hatidiameter 2 cm – 3 cm saja. Tapi bila
USG conventional ini dilengkapi dengan perangkat lunak harmonik sistem bisa
mendeteksi benjolan kanker diameter 1 cm – 2 cm13, namun nilai akurasi ketepatan
diagnosanya hanya 60%.
Rendahnya nilai
akurasi ini disebabkan walaupun USG conventional ini dapat mendeteksi adanya
benjolan kankernamun tak dapat melihat adanya pembuluh darah
baru(neo-vascular). Neo-vascular merupakan ciri khas kanker yaitu pembuluh
darah yang terbentuk sejalan dengan pertumbuhan kanker yang gunanya untuk
menghantarkan makanan dan oksigen ke kanker itu. Semakin banyak neo-vascular
ini semakin ganas kankernya. Walaupun USG color yang sudah dapat memberikan
warna dan mampu memperlihatkan pembuluh nodule tetapi belum dapat memastikan
keberadaan neo-sehingga dengan demikian akurasi diagnostik hanya sedikit
bertambah menjadiberkisar 60% – 70%.
Dengan pesatnya
perkembangan Color Doppler Flow Imaging (CDFI) yaitu USG yang selain mampu
melihat pembuluh darah di sekitar kanker juga mampu pula memperlihatkan
kecepatan dan arah aliran darah di dalam pembuluh darah itu, sehingga dapat
ditentukan resistensi index dan pulsatily index yang dengan demikian sudah
dapat memastikan apakah pembuluh darah yang mengelilingi noduleitu adalah benar
neo-vascularisasi dan berapa banyak . Dengan dapat dipastikan keberadaan
neo-vascularisasi ini makameningkat jadi 80%.
Neo-vascularisasi
yang baru masih bisa dilihat dengan cara diberikan suntikan zat kontras pada penderita
sewaktu dilakukan pemeriksaan CDFI USG, zat kontras itu mampu menembus masuk ke
dalam neo-vascularisas yang menyusup di nodule. Dengan demikian akurasi
diagnosa meningkat menjadi 90% dari 1 cm. Dengan Color Doppler Flow Imaging USG
ini juga memungkinkan kita melihat apakah ada portal vein tumor thrombosis
yaitu sel-sel kanker (tumor thrombus) yang lepas dan masuk ke dalam vena Porta.
Penting sekali
memastikan keberadaantumor thrombus di dalam vena porta ini karena thrombus ini
dapat menyumbat aliran darah. Pada keadaan normal semua makanan yang telah
dicernakan oleh usus akan dihantarkan ke hati tumor thrombus maka hati sehingga
sel-sel hati akan mati (necrosis) secara perlahan tetapi pasti dan ini sangat
membahayakan penderita karena dapat terjadi gagal hati (liver Tumor thrombus
ini bisa ukurannya besar sehingga menutup kecil, dan hanya menutup sebahagian
lumen USG ini sudah bisa diarahkan dengan tepat tindakan pengobatan apa yang
paling sesuai dan bermanfaat untuk penderita apakah akan dilakukan (reseksi
hepatektomi partial) atau operasi membuang sebahagian hati (reseksi hepatektomi
partial) atau tidak, apakah bisa di-embolisasi atau tidak ataukah hanya
dilakukan infus kemoterapi intra-arterial saja. Tapi bila sudah jelas terdapat
tumor thrombus di dalam vena porta dan sudah pula menyumbat vena ini, maka
tindakan operatif dan embolisasi sudah hampir tidak berarti lagi dan
satu-satunya cara untuk menyelamatkan penderita adalah dengan cara
transplantasi hati (liver transplantation).
D . CT SCAN
Di samping USG
diperlukan CT scannsebagai pelengkap yang dapat menilai seluruh segmen hati
dalam satu potongan gambar yang dengan USG gambar hati itu hanya bisa dibuat
sebagian-sebagian saja. CTscann yang saat ini teknologinya berkembang pesat
telah pula menunjukkan akurasi yang tinggi apalagi dengan menggunakan teknik
hellical CTscann, multislice yang sanggup membuat irisan-irisan yang sangat
halus sehingga kanker yang paling kecil pun tidak terlewatkan. Lebih canggih
lagi sekarang CTscann sudah dapat membuat gambar kanker dalam tiga dimensi dan
empat dimensi dengan sangat jelas dan dapat pula memperlihatkan hubungan kanker
ini dengan jaringan tubuh sekitarnya.
E .ANGIOGRAFI
Dicadangkan hanya
untuk penderita kanker hati-nya yang dari hasil pemeriksaan USG dan CTscann
diperkirakan masih ada tindakan terapi bedah atau non-bedah masih yang mungkin
dilakukan untuk menyelamatkan penderita. Pada setiap pasien yang akan menjalani
operasi reseksi hati harus dilakukan pemeriksaan angiografi.
Dengan angiografi ini
dapat dilihat berapa luas kanker yang sebenarnya. Kanker yang kita lihat dengan
USG yang diperkirakan kecil sesuai dengan ukuran pada USG bisa saja ukuran
sebenarnya dua atau tiga kali lebih besar. Angigrafi bisa memperlihatkan ukuran
kanker yang sebenarnya.
Lebih lengkap lagi
bila dilakukan CT angiographyyang dapatmemperjelas batas antara kanker dan
jaringan sehat di sekitarnya sehingga ahli bedah sewaktu melakukan operasi
membuang kanker hati itu tahu menentukan di mana harus dibuat batas sayatannya.
F .MRI (Magnetic
Resonance Imaging)
Bila CTscann
mengunakan sinar X maka MRI ini menggunakan gelombang magnet tanpa adanya Sinar
X. CT angiography menggunakan zat contrast yaitu zat yang diperlukan untuk
melihat pembuluh darah. Tanpa zat ini pembuluh darah tak dapat dilihat.
Pemeriksaan dengan
MRI ini langsung dipilih sebagai alternatif bila ada gambaran CTscann yang
meragukan atau pada penderita yang ada risiko bahaya radiasi sinar X dan pada
penderita yang ada kontraindikasi (risiko bahaya) pemberian zat contrast sehingga
pemeriksaan CTangiography tak memungkinkan padahal diperlukan gambar peta
pembuluh darah. MRI yang dilengkapi dengan perangkat lunak Magnetic
ResonanceAngiography (MRA) sudah pula mampu menampilkan dan membuat peta
pembuluh darah kanker hati ini.11Sayangnya ongkos pemeriksaan dengan MRI dan
MRA ini mahal, sehingga selaluCT scann yang merupakan pilihan pertama.
G .PET (Positron
Emission Tomography)
Salah satu teknologi
terkini peralatan kedokteran radiologi adalah Positron Emission Tomography
(PET) yang merupakan alat pendiagnosis kanker menggunakan glukosa radioaktif
yang dikenal sebagai flourine18 atau Fluorodeoxyglucose (FGD) yang mampu
mendiagnosa kanker dengan cepat dan dalam stadium dini.
Caranya, pasien
disuntik dengan glukosa radioaktif untuk mendiagnosis sel-sel kanker di dalam
tubuh. Cairan glukosa ini akan bermetabolisme di dalam tubuh dan memunculkan
respons terhadap sel-sel yang terkena kanker. PET dapat menetapkan tingkat atau
stadium kanker hati sehingga tindakan lanjut penanganan kanker ini serta
pengobatannya menjadi lebih mudah. Di samping itu juga dapat melihat metastase
(penyebaran).
Sayangnya alat ini
terlalu mahal harganya sehingga biaya pemeriksaannya sangat tinggi dan tak
terjangkau oleh banyak penderita kanker hati.
2.2.8. Pengobatan
Pemilihan terapi
kanker hati ini sangat tergantung pada hasil pemeriksaan radiologi. Sebelum
ditentukan pilihan terapi hendaklah dipastikan besarnya ukuran kanker,lokasi
kanker di bahagian hati yang mana, apakah lesinya tunggal (soliter) atau banyak
(multiple), atau merupakan satu kanker yang sangat besar berkapsul, atau kanker
sudah merata pada seluruh hati, serta ada tidaknya metastasis (penyebaran) ke
tempat lain di dalam tubuh penderita ataukah sudah ada tumor thrombus di dalam
vena porta dan apakah sudah ada sirrhosis hati. Tahap tindakan pengobatan
terbagi tiga, yaitu tindakan bedah hati digabung dengantindakan radiologi dan
tindakan non-bedah dan tindakan transplantasi (pencangkokan) hati.
1.Tindakan Bedah Hati
Digabung dengan Tindakan Radiologi
Terapi yang paling
ideal untuk kanker hati stadium dini adalah tindakan bedah yaitu reseksi
(pemotongan) bahagian hati yang terkena kanker dan juga reseksi daerah
sekitarnya.
Pada prinsipnya
dokter ahli bedah akan membuang seluruh kanker dan tidak akan menyisakan lagi
jaringan kanker pada penderita, karena bila tersisa tentu kankernya akan tumbuh
lagi jadi besar, untuk itu sebelum menyayat kanker dokter ini harus tahu pasti
batas antara kanker dan jaringan yang sehat.
Radiologilah
satu-satunya cara untuk menentukan perkiraan pasti batas itu yaitu dengan
pemeriksaan CT angiography yang dapat memperjelas batas kanker dan jaringan
sehat sehingga ahli bedah tahu menentukan di mana harus dibuat sayatan. Maka
harus dilakukan CT angiography terlebih dahulu sebelum dioperasi.
Dilakukan CT
angiography sekaligus membuat peta pembuluh darah kanker sehingga jelas
terlihat pembuluh darah mana yang bertanggung jawab memberikan makanan (feeding
artery) yang diperlukan kanker untuk dapat tumbuh subur. Sesudah itu barulah
dilakukan tindakan radiologi Trans Arterial Embolisasi (TAE) yaitu suatu
tindakan memasukkan suatu zat yang dapat menyumbat pembuluh darah (feeding
artery) itu sehingga menyetop suplai makanan ke sel-sel kanker dan dengan
demikian kemampua hidup (viability) dari sel-sel kanker akan sangat menurun
sampai menghilang.
Sebelum dilakukan TAE
dilakukan dulu tindakan Trans Arterial Chemotherapy (TAC) dengan tujuan sebelum
ditutup feeding artery lebih dahulu kanker-nya disirami racun (chemotherapy)
sehingga sel-sel kanker yang sudah kena racun dan ditutup lagi suplai
makanannya maka sel-sel kanker benar-benar akan mati dan tak dapat berkembang
lagi dan bila sel-sel ini nanti terlepas pun saat operasi tak perlu
dikhawatirkan, karena sudah tak mampu lagi bertumbuh.
Tindakan TAE digabung
dengan tindakan TAC yang dilakukan olehdokter spesialis radiologi disebut
tindakan Trans Arterial Chemoembolisation (TACE). Selain itu TAE ini juga untuk
tujuan supportif yaitu mengurangi perdarahan pada saat operasi dan juga untuk
mengecilkan ukuran kanker dengan demikian memudahkan dokter ahli bedah. Setelah
kanker disayat, seluruh jaringan kanker itu harus diperiksakan pada dokter ahli
patologi yaitu satu-satunya dokter yang berkompentensi dan yang dapat
menentukan dan memberikan kata pasti apakah benar pinggir sayatan sudah bebas
kanker.
Bila benar pinggir
sayatan bebas kanker artinya sudahlah pasti tidak ada lagi jaringan kanker yang
masih tertinggal di dalam hati penderita. Kemudian diberikan chemotherapy
(kemoterapi) yang bertujuan meracuni sel-sel kanker agar tak mampu lagi tumbuh
berkembang biak.
Pemberian Kemoterapi
dilakukan oleh dokter spesialis penyakit dalam bahagian onkologi (medical
oncologist) ini secara intra venous (disuntikkan melalui pmbuluh darah vena)
yaitu epirubucin/dexorubicin 80 mg digabung dengan mitomycine C 10 mg. Dengan
cara pengobatan seperti ini usia harapan hidup penderita per lima tahun 90% dan
per 10 tahun 80%.
2.TindakanNon-bedah
Hati
Tindakan non-bedah
merupakan pilihan untuk pasien yang datang pada stadium lanjut.. Termasuk dalam
tindakan non-bedah ini adalah:
a. Embolisasi Arteri
Hepatika (Trans Arterial Embolisasi = TAE)
Pada prinsipnya sel
yang hidup membutuhkan makanan dan oksigen yang datangnyabersama aliran darah
yang menyuplai sel tersebut. Pada kanker timbul banyak sel-sel baru sehingga
diperlukan banyak makanan dan oksigen, dengan demikian terjadi banyak pembuluh
darah baru (neo-vascularisasi) yang merupakan cabang-cabang dari pembuluh darah
yang sudah ada disebut pembuluh darah pemberi makanan (feeding artery) Tindakan
TAE ini menyumbat feeding artery. Caranya dimasukkan kateter melalui pembuluh
darah di paha (arteri femoralis) yang seterusnya masuk ke pembuluh nadi besar
di perut (aorta abdominalis) dan seterusnya dimasukkan ke pembuluh darah hati
(artery hepatica) dan seterusnya masuk ke dalam feeding artery. Lalu feeding
artery ini disumbat (di-embolisasi) dengan suatu bahan seperti gel foam
sehingga aliran darah ke kanker dihentikan dan dengan demikian suplai makanan
dan oksigen ke sel-sel kanker akan terhenti dan sel-sel kanker ini akan mati.
Apalagi sebelum dilakukan embolisasi dilakukan tindakan trans arterial
chemotherapy yaitu memberikan obat kemoterapi melalui feeding artery itu maka
sel-sel kanker jadi diracuni dengan obat yang mematikan. Bila kedua cara ini
digabung maka sel-sel kanker benar-benar terjamin mati dan tak berkembang
lagi.Dengan dasar inilah embolisasi dan injeksi kemoterapi intra-arterial
dikembangkan dan nampaknya memberi harapan yang lebih cerah pada penderita yang
terancam maut ini. Angka harapan hidup penderita dengan cara ini per lima
tahunnya bisa mencapai sampai 70% dan per sepuluh tahunnya bisa mencapai 50%.
b. Infus Sitostatika
Intra-arterial
Menurut literatur 70%
nutrisi dan oksigenasi sel-sel hati yang normal berasal dari vena porta dan 30%
dari arteri hepatika, sehingga sel-sel ganas mendapat nutrisi dan oksigenasi
terutama dari sistem arteri hepatika. Bila Vena porta tertutup oleh tumor maka
makanan dan oksigen ke sel-sel hati normal akan terhenti dan sel-sel tersebut
akan mati. Dapatlah dimengerti kenapa pasien cepat meninggal bila sudah ada
penyumbatan vena porta ini .
Infus sitostatika
intra-arterial ini dikerjakan bila vena porta sampai ke cabang besar tertutup
oleh sel-sel tumor di dalamnya dan pada pasien tidak dapat dilakukan tindakan
transplantasi hati oleh karena ketiadaan donor, atau karena pasien menolak atau
karena ketidakmampuan pasien.
Sitostatika yang
dipakai adalah mitomycin C 10 – 20 Mg kombinasi dengan adriblastina 10-20 Mg
dicampur dengan NaCl (saline) 100 – 200 cc. Atau dapat juga cisplatin dan 5FU
(5 Fluoro Uracil).
Metoda ballon
occluded intra arterial infusion adalah modifikasi infus sitostatika
intra-arterial, hanya kateter yang dipakai adalah double lumen balloncatheter
yang di-insert (dimasukkan) ke dalam arteri hepatika. Setelah ballon
dikembangkan terjadi sumbatan aliran darah, sitostatika diinjeksikan dalam
keadaan ballon mengembang selama 10 – 30 menit, tujuannya adalah memperlama
kontak sitostatika dengan tumor. Dengan cara ini maka harapan hidup pasien per
lima tahunnya menjadi 40% dan per sepuluh tahunnya 30% dibandingkan dengan
tanpa pengobatan adalah20% dan 10%.20
c. Injeksi Etanol
Perkutan (Percutaneus Etanol Injeksi = PEI)
Pada kasus-kasus yang
menolak untuk dibedah dan juga menolak semua tindakan atau pasien tidak mampu
membiayai pembedahan dan tak mampu membiayai tindakan lainnya maka tindakan
PEI-lah yang menjadi pilihan satu-satunya.
Tindakan injeksi
etanol perkutan ini mudah dikerjakan, aman, efek samping ringan, biaya murah,
dan hasilnya pun cukup memberikan harapan. PEI hanya dikerjakan pada pasien
stadium dini saja dan tidak pada stadium lanjut. Sebagian besar peneliti
melakukan pengobatan dengan cara ini untuk kanker bergaris tengah sampai 5 cm,
walaupun pengobatan paling optimal dikerjakan pada garis tengah kurang dari 3
cm.
Pemeriksaan
histopatologi setelah tindakan membuktikan bahwa tumor mengalami nekrosis yang
lengkap.
Sebagian besar
peneliti menyuntikkan etanol perkutan pada kasus kanker ini dengan jumlah lesi
tidak lebih dari3 buah nodule, meskipun dilaporkan bahwa lesi tunggal merupakan
kasus yang paling optimal dalam pengobatan. Walaupun kelihatannya cara ini
mungkin dapat menolong tetapi tidak banyak penelitian yang memadai dilakukan
sehingga hanya dikatakan membawa tindakan ini memberi hasil yang cukup baik.
d. Terapi Non-bedah
Lanilla
Terapi non-bedah
lainnya saat ini sudah dikembangkan dan hanya dilakukan bila terapi bedah
reseksi dan Trans Arterial Embolisasi (TAE) ataupun Trans Arterial
Chemoembolisation ataupun Trans Arterial Chemotherapy tak mungkin dilakukan
lagi. Di antaranya yaitu terapi Radio Frequency Ablation Therapy (RFA),Proton
Beam Therapy, Three Dimentional Conformal Radiotherapy (3DCRT), Cryosurgery
yang kesemuanya ini bersifat palliatif (membantu) bukan kuratif (menyembuhkan)
keseluruhannya.
e. Tindakan
Transplantasi Hati
Bila kanker hati ini
ditemukan pada pasien yang sudah ada sirrhosis hati dan ditemukan kerusakan
hati yang berkelanjutan atau sudah hampir seluruh hati terkena kanker atau
sudah ada sel-sel kanker yang masuk ke vena porta (thrombus vena porta) maka
tidak ada jalan terapi yang lebih baik lagi dari transplantasi hati.
Transplantasi hati
adalah tindakan pemasangan organ hati dari orang lain ke dalam tubuh seseorang.
Langkah ini ditempuh bila langkah lain seperti operasi dan tindakan radiologi
seperti yang disebut di atas tidak mampu lagi menolong pasien. Akan tetapi,langkah
menuju transplantasi hati tidak mudah, pasalnya ketersediaan hati untuk
di-transplantasikan sangat sulit diperoleh seiring kesepakatan global yang
melarang jual beli organ tubuh.
Selain itu, biaya
transplantasi tergolong sangat mahal. Dan pula sebelum proses transplantasi
harus dilakukan serangkaian pemeriksaan seperti tes jaringan tubuh dan darah
yang tujuannya memastikan adanya kesamaan/kecocokan tipe jaringan tubuh
pendonor dan pasien agar tidak terjadi penolakan terhadap hati baru. Penolakan
bisa berupa penggerogotan hati oleh zat-zat dalam darah yang akan menimbulkan
kerusakan permanen dan mempercepat kematian penderita. Seiring keberhasilan
tindakan transplantasi hati, usia pasien setidaknya akan lebih panjang lima
tahun.
2.2.9 KOMPLIKASI
Komplikasi yang
sering terjadi pada sirosis adalah asites, perdarahan saluran cerna bagian
atas, ensefalopati hepatika, dan sindrom hepatorenal. Sindrom hepatorenal
adalah suatu keadaan pada pasien dengan hepatitis kronik, kegagalan fungsi
hati, hipertensi portal, yang ditandai dengan gangguan fungsi ginjal dan
sirkulasi darah Sindrom ini mempunyai risiko kematianyangtinggi. Terjadinya
gangguan ginjal pada pasien dengan sirosis hati ini baru dikenal pada akhir
abad 19 dan pertamakali dideskripsikan oleh Flint dan Frerichs. Penatalaksanaan
sindrom hepatorenal masih belum memuaskan; masih banyak kegagalan sehingga
menimbulkan kematianPrognosis pasien dengan penyakit ini buruk.
2.2.10 Asuhan
Keperawatan Hematoma
B. Konsep Dasar
1. Pengkajian
Gejala Klinik
Fase dini : Asimtomatik.
Fase lanjut :Tidak
dikenal simtom yang patognomonik.
Keluhan berupa nyeri
abdomen, kelemahan dan penurunan berat badan, anoreksia, rasa penuh setelah
makan terkadang disertai muntah dan mual. Bila ada metastasis ke tulang
penderita mengeluh nyeri tulang.
Pada pemeriksaan
fisik bisa didapatkan :
1. Ascites
2. Ikterus
3. Hipoalbuminemia
4. Splenomegali,
Spider nevi, Eritoma palmaris, Edema.
Secara umum
pengkajian Keperawatan pada klien dengan kasus kanker hati, meliputi :
1. Gangguan
metabolisme
2. Perdarahan
3. Asites
4. Edema
5. Hipoproteinemia
6. Jaundice/icterus
7. Komplikasi
endokrin
8. Aktivitas
terganggu akibat pengobatan
II.DIAGNOSA
KEPERAWATAN
1. tidak seimbangan
nutrisi berhubungan dengan anoreksia, mual, gangguan absorbsi, metabolisme
vitamin di hati.
TUJUAN :
1. Mendemontrasikan
BB stabil, penembahan BB progresif kearah tujuan dgn normalisasi nilai
laboratorium dan batas tanda-tanda malnutrisi
2. Penanggulangan
pemahaman pengaruh individual pd masukan adekuat .
INTERVENSI
1. Pantau masukan
makanan setiap hari, beri pasein buku harian tentang makanan sesuai indikasi
2. Dorong pasien utk
makan deit tinggi kalori kaya protein dg masukan cairan adekuat. Dorong
penggunaan suplemen dan makanan sering / lebih sedikit yg dibagi bagi selama
sehari.
3. Berikan antiemetik
pada jadwal reguler sebelum / selama dan setelah pemberian agent antineoplastik
yang sesuai .
RASIONAL :
1. Keefektifan
penilaian diet individual dalam penghilangan mual pascaterapi. Pasien harus
mencoba untuk menemukan solusi/kombinasi terbaik.
2. Kebutuhan jaringan
metabolek ditingkatkan begitu juga cairan ( untuk menghilangkan produksi sisa
). Suplemen dapat memainkan peranan penting dlm mempertahankan masukan kalori
dan protein adekuat.
3. Mual/muntah paling
menurunkan kemampuan dan efek samping psikologis kemoterapi yang menimbulkan
stess.
B. Nyeri berhubungan
dengan tegangnya dinding perut ( asites )
TUJUAN
1. Mendemontrasikan
penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas hiburan sesuai indikasi nyeri.
2. Melaporkan
penghilangan nyeri maksimal / kontrol dengan pengaruh minimal pada AKS
INTERVENSI
1. Tentukan riwayat
nyeri misalnya lokasi , frekwensi, durasi dan intensitas ( 0-10 ) dan tindakan
penghilang rasa nyeri misalkan berikan posisi yang duduk tengkurap dengan
dialas bantal pada daerah antara perut dan dada.
2. Berikan tindakan
kenyamanan dasar misalnya reposisi, gosok punggung.
3. kaji tingkat nyeri
/ kontrol nilai
RASIONAL
1. memberikan data
dasar untuk mengevaluasi kebutuhan / keefektifan intervensi misalnya : nyeri
adalahindividual yang digabungkan baik respons fisik dan emesional
2. meningkatkan
relaksasi dan membantu memfokuskan kembali perhatian
3. kontrol nyeri
maksimum dengan pengaruh minimum pada AKS.
A. Intoleransi
aktivitas b.d ketidak seimbangan antara suplai O2 dengan kebutuhan
TUJUAN :
1. dapat melakukan
aktivitas sesuai kemampuan tubuh.
INTERVENSI
1. dorong pasein
untuk melakukan apa saja bila mungkin, misalnya mandi, bangun dari kursi/
tempat tidur, berjalan. Tingkatkan aktivitas sesuai kemampuan.
2. pantau respon
fisiologi terhadap aktivitas misalnya; perubahan pada TD/ frekuensi jantung /
pernapasan.
3. beri oksigen
sesuai indikasi
RASIONAL
1. meningkatkan
kekuatan / stamina dan memampukan pasein menjadi lebih aktif tanpa kelelahan
yang berarti.
2. teloransi sangat
tergantung pada tahap proses penyakit, status nutrisi, keseimbnagan cairan dan
reaksi terhadap aturan terapeutik.
3. adanya hifoksia menurunkan
kesediaan O2 untuk ambilan seluler dan memperberat keletihan.
D. Resiko terjadinya
gangguan integritas kulit berhubungan dengan pruritus,edema dan asites
TUJUAN :
1. Mengedentifikasi
fiksi intervensi yang tepat untuk kondisi kusus.
2. Berpartisipasi
dalam tehnik untuk mencegah komplikasi / meningkatkan penyembuhan
INTERVENSI
1. Kaji kulit
terhadap efek samping terapi kanker. Perhatikan kerusakan atau perlambatan
penyembuhan .
2. Mandikan dengan
air hangat dan sabun
3. Dorong pasien untuk
menghindari menggaruk dan menepuk kulit yang kering dari pada menggaruk.
4. Balikkan / ubah
posisi dengan sering
5. Anjurkan pasein
untuk menghindari krim kulit apapun ,salep dan bedak kecuali seijin dokter
RASIONAL
1. Efek kemerahan
atau reaksi radiasi dapat terjadi dalam area radiasi dapat terjadi dalam area
radiasi. Deskuamasi kering dan deskuamasi kering,ulserasi.
2. Mempertahankan
kebersihan tanpa mengiritasi kulit.
3. Membantu mencegah
friksi atau trauma fisik.
4. Untuk meningkatkan
sirkulasi dan mencegah tekanan pada kulit/ jaringan yang tidak perlu.
5. Dapat meningkatkan
iritasi atau reaksi secara nyata
1 Komentar
Ditulis dalam
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH (KMB)
Oleh: wantohape |
Januari 7, 2010
ASKEP TRAUMA ABDOMEN
ASKEP TRAUMA ABDOMEN
2.1.1 Pengertian
Trauma adalah luka
atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologi akibat gangguan emosional yang
hebat (Brooker, 2001). Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan
orang dewasa kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah
menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma yang
disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001). Trauma abdomen adalah cedera
pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja
atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001). Trauma abdomen adalah terjadinya atau
kerusakan pada organ abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi
sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan monologi dan gangguan faal
berbagai organ.
2.1.2 Etiologi dan
Klasifikasi
1. Trauma tembus
(trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium).
Disebabkan oleh :
luka tusuk, luka tembak.
2. Trauma tumpul
(trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).
Disebabkan oleh :
pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt)
( FKUI, 1995 ).
2.1.3 Patofisiologi
Tusukan/tembakan :
pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman
(set-belt).
Trauma Abdomen :
a. Trauma tumpul
abdomen
Kehilangan darah,
memar/jejas pada dinding perut, kerusakan organ-organ, nyeri, iritasi cairan
usus.
b. Trauma tembus
abdomen
Hilangnya seluruh
atau sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, perdarahan dan pembekuan
darah, kontaminasi bakteri, kematian sel.
Trauma tumpul abdomen
dan tembus abdomen menyebabkan :
• Kerusakan
integritas kulit
• Syok dan pendarahan
• Kerusakan
pertukaran gas
• Resiko tinggi
terhadap infeksi
• Nyeri akut
2.1.4 Tanda dan
Gejala
1. Trauma tembus
(trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium):
Hilangnya seluruh
atau sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, perdarahan dan pembekuan
darah, kontaminasi bakteri, kematian sel.
2. Trauma tumpul
(trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium):
Kehilangan darah,
memar/jejas pada dinding perut, kerusakan organ-organ, nyeri tekan, nyeri
ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut, iritasi cairan usus
(FKUI,1995).
2.1.5 Komplikasi
Segera : hemoragi,
syok, dan cedera
Lambat : infeksi
(Smeltzer, 2001)
2.1.6 Pemeriksaan
Diagnotik
Pemeriksaan rektum :
adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar ; kuldosentesi, kemungkinan
adanya darah dalam lambung ; dan kateterisasi, adanya darah menunjukkan adanya
lesi pada saluran kencing.
Laboratorium :
hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine.
Radiologik : bila
diindikasikan untuk melakukan laparatomi.
IVP/sistogram : hanya
dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma saluran kencing.
Parasentesis perut :
tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang diragukan adanya kelainan
dalam rongga perut atau trauma tumpul perut yang disertai dengan trauma kepala
yang berat, dilakukan dengan menggunakan jarum fungsi no 18 atau 20 yang
ditusukkan melalui dinding perut didaerah kuadran bawah atau digaris tengah
dibawah pusat dengan menggosokkan buli-buli terlebih dahulu.
2.1.7 Penatalaksanaan
Pemasangan NGT untuk
pengosongan isi lambung dan mencegah aspirasi.
Kateter dipasang
untuk mengosongkan kandung kencing dan menilai urin yang keluar (pendarahan).
Pembedahan /
laparatomi ( untuk trauma tembus dan trauma tumpul jika terjadi rangsangan
peritoneal : syok; bising usus tidak terdengar ; prolaps visera melalui luka
tusuk ; darah dalam lambung, buli-buli, rektum ; udara bebas intraperitoneal ;
lavase peritoneal positif ; cairan bebas dalam rongga perut ) (FKUI, 1995).
2.2 Asuhan
Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian adalah
langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh. Pengkajian
pasien trauma abdomen (Smeltzer, 2001) adalah meliputi :
1. Trauma tembus
abdomen
Dapat riwayat
mekanisme cedera ; kekuatan tusukan / tembakan ; kekuatan tumpul (pukulan).
Inspeksi abdomen
untuk tanda cedera sebelumnya : cedera tusuk, memar, dan tempat keluarnya
peluru.
Auskultasi ada/tidaknya
bising usus dan catat data dasar sehinggga perubahan dapat dideteksi. Adanya
bising usus adalah tanda awal keterlibatan intraperitonel ; jika ada tanda
iritasi peritonium, biasanya dilakukan laparatomi (insisi pembedahan kedalam
rongga abdomen).
Kaji pasien untuk
progesi distensi abdomen, gerakan melindungi, nyeri tekan, kekakuan otot atau
nyeri lepas, penurunan bising usus, hipotensi dan syok.
Kaji cedera dada yang
sering mengikuti cedera intra-abdomen, observasi cedera yang berkaitan.
Catat semua tanda
fisik selama pemeriksan pasien.
2. Trauma tumpul
abdomen
Dapat riwayat detil
jika mungkin (sering tidak bisa didapatkan, tidak akurat, atau salah) dapatkan
semua data yang mungkin tentang hal-hal sebagai berikut :
Metode cedera, waktu
awitan gejala, lokasi penumpang jika kecelakaan lalu lintas (sopir sering
menderia ruptur limpa atau hati). Sabuk keselamatan digunakan/tidak, tipe
restrain yang digunakan, waktu makan atau minum terakhir, kecenderungan
perdarahan, penyakit dan medikasi terbaru, riwayat immunisasi, dengan perhatian
pada tetanus, alergi, lakukan pemeriksaan cepat pada seluruh tubuh pasien untuk
mendeteksi masalah yang mengancam kehidupan. (Keperawatan Mediakl Bedah :
Brunner dan Suddarth, hal. 2476 – 2477).
2.2.2 Penatalaksanaan
1. Mulai prosedur
resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan sirkulasi) sesuai indikasi.
2. Pertahankan pasien
pada brankar atau tandu papan ; gerakan dapat menyebabkan fragmentasi bekuan
pada pembuluh darah besar dan menimbulkan hemoragi masif.
a) Pastikan kepatenan
jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem saraf.
b) Jika pasien koma,
bebat leher sampai setelah sinar x leher didapatkan.
c) Gunting baju dari
luka.
d) Hitung jumlah luka
e) Tentukan lokasi
luka masuk dan keluar
3. Kaji tanda dan
gejala hemoragi. Hemoragi sering menyertai cedera abdomen, khususnya hati dan
limpa mengalami trauma.
4. Kontrol perdarahan
dan pertahanan volume darah sampai pembedahan dilakukan.
a) Berikan kompresi
pada luka perdarahan eksternal dan bendengan luka dada.
b) Pasang kateter IV
diameter besar untuk penggantian cairan cepat dan memperbaiki dinamika
sirkulasi.
c) Perhatikan
kejadian syok setelah respon awal terjadi terhadap transfusi ; ini sering
merupakan tanda adanya perdarahan internal.
d) Dokter dapat melakukan
parasentesis untuk mengidentifikasi tempat perdarahan.
5. Aspirasi lambung
dengan selang nasogastrik. Prosedur ini membantu mendeteksi luka lambung,
mengurangi kontaminasi terhadap rongga peritonium, dan mencegah komplikasi paru
karena aspirasi.
6. Tutupi visera
abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan salin basah untuk mencegah
kekeringan visera
a) Fleksikan lutut
pasien ; posisi ini mencegah protusi lanjut
b) Tunda pemberian
cairan oral untuk mencegah meningkatnya peristaltik dan muntah.
7. Pasang kateter
uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria dan pantau haluaran
urine.
8. Pertahankan lembar
alur terus menerus tentang tanda vital, haluaran urine, pembacaan tekanan vena
sentral pasien (bila diindikasikan), nilai hematokrit, dan status neurologik.
9. Siapkan untuk
parasentesis atau lavase peritonium ketika terdapat ketidakpastian mengenai
perdarahan intraperitonium.
10. Siapkan sinografi
untuk menentukan apakah terdapat penetrasi peritonium pada kasus luka tusuk.
a) Jahitan dilakukan
disekeliling luka.
b) Kateter kecil
dimasukkan ke dalam luka.
c) Agens kontras
dimasukkan melalui kateter ; sinar x menunjukkan apakah penetrasi peritonium
telah dilakukan.
11. Berikan
profilaksis tetanus sesuai ketentuan.
12. Berikan antibiotik
spektrum luas untuk mencegah infeksi. Trauma dapat menyebabkan infeksi akibat
karena kerusakan barier mekanis, bakteri eksogen dari lingkungan pada waktu
cedera dan manuver diagnostik dan terapeutik (infeksi nosokomial).
13. Siapkan pasien
untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan darah, adanya
udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau hematuria.
2.2.3 Diagnosa
Keperawatan
Diagnosa keperawatan
adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial
berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994).
Diagnosa keperawatan
pada pasien dengan trauma abdomen (Wilkinson, 2006) adalah :
1. Kerusakan integritas
kulit berhubungan dengan cedera tusuk.
2. Risiko tinggi
terhadap infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit.
3. Nyeri akut
berhubungan dengan trauma / diskontinuitas jaringan.
4. Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
5. Hambatan mobilitas
fisik berhubungan dengan nyeri / ketidak nyamanan, terapi pembatasan aktivitas,
dan penurunan kekuatan / tahanan.
2.2.4 Intervensi dan
Implementasi
Intervensi adalah
penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi
masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994).
Implementasi adalah
pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada
tahap perencanaan (Effendi, 1995).
Intervensi dan
implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan trauma abdomen
(Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Kerusakan
integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami perubahan secara
tidak diinginkan.
Tujuan : Mencapai
penyembuhan luka pada waktu yang sesuai
Kriteria hasil : -
Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- Luka bersih tidak
lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital
dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan
Implementasi :
a) Kaji kulit dan
identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/: Mengetahui sejauh
mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
b) Kaji lokasi,
ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka
R/: Mengidentifikasi
tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
c) Pantau peningkatan
suhu tubuh
R/: Suhu tubuh yang
meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.
d) Berikan perawatan
luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan
plester kertas.
R/: Tehnik aseptik
membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
e) Jika pemulihan
tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/: Agar benda asing
atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal
lannya.
f) Setelah
debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/: Balutan dapat
diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/tidaknya luka, agar
tidak terjadi infeksi.
g) Kolaborasi
pemberian antibiotik sesuai indikasi
R/: Antibiotik
berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko
terjadi infeksi.
2. Resiko infeksi
berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan sirkulasi,
kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit.
Tujuan : Infeksi
tidak terjadi / terkontrol
Kriteria hasil : -
Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus
- Luka bersih tidak
lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital
dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan
Implementasi :
a) Pantau tanda-tanda
vital
R/: Mengidentifikasi
tanda-tanda peradangan terutamabila suhu tubuh meningkat.
b) Lakukan perawatan
luka dengan teknik aseptik.
R/: Mengendalikan
penyebaran mikroorganisme patogen.
c) Lakukan perawatan
terhadap prosedur invasif seperti infus, kateter, darinase luka, dll.
R/: Untuk mengurangi
resiko infeksi nosokomial.
d) Jika ditemukan
tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit
R/: Penurunan Hb dan
peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi.
e) Kolaborasi untuk
pemberian antibiotik
R/: Antibiotik
mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.
3. Nyeri adalah
pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat akibat
adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah
seperti kerusakan ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan
sampai berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan
durasinya kurang dari enam bulan.
Tujuan : Nyeri dapat
berkurang atau hilang
Kriteria hasil : -
Nyeri berkurang atau hilang
- Klien tampak tenang
Intervensi dan
Implementasi :
a) Lakukan pendekatan
pada klien dan keluarga.
R/: Hubungan yang
baik membuat klien dan keluarga kooperatif
b) Kaji tingkat
intensitas dan frekwensi.
R/: Tingkat
intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
c) Jelaskan pada
klien penyebab dari nyeri
R/: Memberikan
penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri
d) Observasi
tanda-tanda vital
R/: Untuk mengetahui
perkembangan klien
e) Melakukan
kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik
R/: Merupakan
tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk memblok stimulasi
nyeri.
4. Intoleransi
aktivitas adalah suatu keadaan seorang individu yang tidak cukup mempunyai energi
fisiologi atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktivitas
sehari-hari yang diinginkan.
Tujuan : Pasien
memiliki cukup energi untuk beraktivitas
Kriteria hasil : -
Perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
- Pasien
mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
- Koordinasi otot,
tulang dana nggota gerak lainnya baik.
Intervensi dan
Implementasi :
a. Rencana periode
istirahat yang cukup
R/: Mengurangi
aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan untuk
aktivitas seperlunya secara optimal.
b. Berikan latihan
aktivitas secara bertahap
R/: Tahapan-tahapan
yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan menghemat
tenagab namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.
c. Bantu pasien dalam
memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/: Mengurangi
pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d. Setelah latihan
dan aktivitas kaji respons pasien
R/: Menjaga
kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.
5. Hambatan mobilitas
fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakan fisik yang
bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tujuan : Pasien akan
menunjukkan tingkat mobilitasoptimal
Kriteria hasil : -
Penampilan yang seimbang
- Melakukan
pergerakan dan perpindahan
- Mempertahankan
mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat
bantu
2 = memerlukan
bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
3 = membutuhkan
bantuan dari orang lain dan alat bantu.
4 = ketergantungan;
tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan
Implementasi :
a) Kaji kebutuhan
akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/: Mengidentifikasi
masalah, memudahkan intervensi
b) Tentukan tingkat
motivasi pasien dalam melakukan aktivitas
R/: Mempengaruhi
penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidak mampuan ataukah
ketidak mauan
c) Ajarkan dan pantau
pasien dalam hal penggunaan alat bantu
R/ : Menilai batasan
kemampuan aktivitas optimal
d) Ajarkan dan dukung
pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif
R/: Mempertahankan /
meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot
e) Kolaborasi dengan
ahli terapi fisik atau okupasi
R/: Sebagai suatu
sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan / meningkatkan
mobilitas pasien.
2.2.5 Evaluasi
Evaluasi adalah
stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian
tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau
intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang
diharapkan pada pasien dengan trauma abdomen adalah :
1. Mencapai
penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
2. Infeksi tidak
terjadi / terkontrol
3. Nyeri dapat
berkurang atau hilang
4. Pasien memiliki
cukup energi untuk beraktivitas
5. Pasien akan
menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar