Jumat, 22 Juni 2012


ASKEP KLIEN CA KELENJAR GETAH BENING

ASUHAN KEPERAWATAN
KLIEN DENGAN CA KELENJAR GETAH BENING
1. Konsep Teori
1.1 Pengertian
Ca getah bening adalah kanker yang menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, sel tersebut cepat menggandakan diri dan tumbuh secara tidak terkontrol, Limfoma Non Hodgkin disingkat jadi LNH.
1.2 Etiologi
Adanya mutasi sel limfosit (sejenis sel darah putih) yang sebelumnya normal menjadi tidak terkontrol dan tumbuh secara cepat. Seperti halnya limfosit normal, limfosit ganas dapat tumbuh pada berbagai organ dalam tubuh termasuk kelenjar getah bening, limpa, sumsum tulang, darah ataupun organ lain.
Cairan limfatik adalah cairan putih menyerupai susu yang mengandung protein lemak dan limfosit yang semuanya mengalir ke seluruh tubuh lewat pembuluh limfatik. Ada dua macam sel limfosit yaitu sel B dan T. Sel B berfungsi membantu melindungi tubuh melawan bakteri dengan membuat antibodi yang memusnahkan bakteri. Gejala dan penyakit kanker kelenjar getah bening meliputi pembengkakan kelenjar getah bening pada leher, ketiak atau pangkal paha. Pembengkakan kelenjar tadi dapat dimulai dengan gejala penurunan berat badan secara drastis, rasa lelah yang terus menerus, batuk-batuk dan sesak napas, gatal-gatal, demam tanpa sebab dan berkeringat malam hari.
Karena limfosit bersirkulasi ke seluruh tubuh, maka selain di kelenjar getah bening tempat yang paling sering terkena Limfoma adalah limpa dan sumsum tulang. Selain itu bisa terbentuk di perut, hati atau yang jarang sekali di otak. Seringkali lebih dari satu bagian tubuh terserang oleh penyakit ini. Limfoma pada otak atau urat saraf tulang belakang disebut limfoma susunan saraf pusat (SSP). Penyakit Limfoma dapat menyerang disegala usia, namun lebih sering menyerang usia tua kurang lebih 65 tahun.
Tidak ada bukti adanya faktor keturunan yang berhubungan dengan kasus-kasus limfoma non Hodgkin. Penyebab pasti dari penyakit Limfoma sampai saat ini belum diketahui. Namun ada beberapa faktor yang menunjang penyakit ini yaitu:
1. Beberapa infeksi seperti HIV/AIDS, leukemia, dan Epstein-Barr virus (EBV).
Orang dengan HIV positif lebih mungkin mengidap Limfoma non Hodgkin dari pada orang lainnya. Virus Epstein-Barr adalah virus yang umum, menyerang kebanyakan orang pada suatu waktu tertentu dalam masa hidupnya, dan mengakibatkan infeksi singkat atau demam glandular. Akan tetapi, dalam sejumlah kecil kasus ekstrim, ia dikaitkan dengan Limfoma Burkitt dan bentuk limfoma non Hodgkin yang berhubungan dengan imunosupresi.
Limfoma Burkitts adalah bentuk sangat agresif dari Limfoma non Hodgkin. Pengobatan harus agresif dan umumnya melibatkan pengobatan yang ditujukan pada susunan saraf pusat ditambah regimen kemoterapi intravena. Pasien seringkali diberikan kemoterapi intensif yang melibatkan banyak obat, dan perlu dirawat di rumah sakit selama pengobatannya. Meski demikian, mayoritas pasien yang berusia lebih muda dengan bentuk penyakit ini dapat disembuhkan.
2. Penyakit dan obat-obatan yang dapat melemahkan system kekebalan.
1.3 Gejala Ca getah bening
Gejala pada Limfoma secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan, dan tidak ada tanda-tanda radang. Hal ini dapat segera dicurigai sebagai Limfoma non-Hodgkin. Namun , tidak semua benjolan yang terjadi di sistem limfatik merupakan Limfoma. Bisa saja benjolan tersebut hasil perlawanan kelenjar limfa dengan sejenis virus atau mungkin tuberkulosis limfa.
Terdapat 3 gejala spesifik pada Limfoma :
- Demam berkepanjangan dengan suhu lebih dari 38 oC
- Sering keringat malam
- Kehilangan berat badan lebih dari 10% dalam 6 bulan
1.4 Diagnosis
Untuk mendeteksi Limfoma memerlukan pemeriksaan seperti sinar-X, CT scan, PET scan, biopsi sumsum tulang dan pemeriksaan darah. Biopsi atau penentuan stadium adalah cara mendapatkan contoh jaringan untuk membantu dokter mendiagnosis Limfoma non Hodgkin.
Ada beberapa jenis biopsi:
- Biopsi kelenjar getah bening, jaringan diambil dari kelenjar getah bening yang membesar
- Biopsi aspirasi jarum-halus, jaringan diambil dari kelenjar getah bening dengan jarum suntik. Ini kadang-kadang dilakukan untuk memantau respon terhadap pengobatan.
- Biopsi sumsum tulang di mana sumsum tulang diambil dari tulang panggul untuk melihat apakah Limfoma non Hodgkin telah melibatkan sumsum tulang.
Penyebaran Limfoma dapat dikelompokkan dalam 4 stadium. Stadium I dan II sering dikelompokkan bersama sebagai stadium awal penyakit, sementara stadium III dan IV dikelompokkan bersama sebagai stadium lanjut.
- Stadium I : Penyebaran Limfoma hanya terdapat pada satu kelompok yaitu kelenjar getah bening
- Stadium II : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok kelenjar getah bening, tetapi hanya pada satu sisi diafragma, serta pada seluruh dada atau perut.
- Stadium III : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok kelenjar getah bening, serta pada dada dan perut.
- Stadium IV : Penyebaran Limfoma selain pada kelenjar getah bening setidaknya pada satu organ lain juga seperti sumsum tulang, hati, paru-paru, atau otak
1.5 Terapi/Pengobatan
Pengobatan pada Limfoma Non Hodgkin dapat dilakukan melalui beberapa cara, sesuai dengan diagnosis dari beberapa faktor seperti apakah pernah kambuh, stadium berapa, umur, kondisi badan, kebutuhan dan keinginan pasien. Secara garis besar penyembuhan terjadi sekitar 93%, membuat penyakit ini sebagai salah satu kanker yang paling dapat disembuhkan.
Berikut ini cara-cara pengobatan penyakit Limfoma : Kemoterapi, Terapi antibodi monoklonal, Terapi Radiasi, Transplantasi, Pembedahan, Terapi eksperimental, atau Penatalaksanaan gejala. (Tentu saja keputusan dari dokter, bukan dari kita)
1.5.1 Kemoterapi
Obat-obat kemoterapi bertujuan untuk merusak dan membunuh semua sel limfoma di seluruh tubuh. Sasarannya adalah semua sel yang membelah dengan cepat. Salah satu obat kemoterapi yang paling sering diberikan adalah chlorambucil, dalam bentuk tablet yang diberikan per oral.
1.5.2 Radioterapi
Digunakan jika penyakitnya hanya pada satu atau dua daerah tubuh. Kemoterapi dosis tinggi merupakan pilihan pengobatan selanjutnya yang berguna pada sebagian pasien.
1.5.3 Antibodi monoclonal
Yang paling umum dipakai dalam pengobatan Limfoma non Hodgkin adalah rituximab. Rituximab efektif dalam pengobatan beberapa tipe Limfoma non Hodgkin yang paling umum. Rituximab umumnya diberikan dalam kombinasi dengan kemoterapi, meskipun pada beberapa keadaan diberikan tunggal. Tujuan pengobatan ini adalah untuk menghancurkan sel-sel limfoma non Hodgkin secara khusus dan tidak mengganggu jenis-jenis sel lainnya.
1.5.4 Pengobatan dengan radiasi
Membunuh sel-sel di tubuh dengan merusak DNA, sehingga sel tidak dapat memperbaiki kerusakan yang terjadi. Karena radiasi dapat membunuh sel normal bersama sel yang sakit, penting bahwa pemakaian radiasi sebagai terapi diarahkan setepat mungkin pada sel yang menimbulkan penyakit sebagai upaya mengurangi efek samping. Umumnya diberikan pada pasien yang hanya memiliki satu atau dua kelenjar getah bening yang terserang. Di sini, berkas radiasi dipusatkan pada daerah yang terkena untuk membunuh sel-sel yang sakit.
1.5.5 Transplantasi berguna untuk menghancurkan sumsum tulang
Selanjutnya digantikan dengan sel-sel induk yang ditransplantasikan. Biasanya melibatkan pemakaian kemoterapi dosis tinggi atau dengan radioterapi. Transplantasi dibagi dalam 2 kelompok :
- Alogenik (berbeda secara genetik), sel induk berasal dari orang lain donor. Donor dapat berupa keluarga, idealnya saudara kembar
- Otologus (dari tubuh pasien sendiri), sel induk berasal dari pasien sendiri, dikumpulkan sebelum kemoterapi dosis tinggi, kemudian akan ditransplantasikan kembali pada mereka.
1.5.6 Pembedahan dapat dilakukan dengan cara splenektomi
Jika limpa sudah terkena limfoma non Hodgkin, pengangkatan ini dikenal sebagai splenektomi. Ini dilakukan dengan anestesi umum. Orang yang telah menjalani splenektomi lebih mungkin terkena infeksi bakteri, dan seharusnya mendapat vaksinasi untuk mencegahnya.
1.5.7 Pengobatan terapi eksperimental
Pengobatan jenis ini hanya akan disarankan oleh dokter jika jenis-jenis pengobatan yang tersebut di atas belum bisa berhasil. Pengobatan ini ditujukan pada pasien yang menderita Limfoma non Hodgkin yang selalu kambuh setelah pengobatan atau tidak memberikan respon sama sekali terhadap pengobatan normal. Ini disebabkan karena pengobatan eksperimental dapat menimbulkan lebih banyak efek samping daripada pengobatan yang sudah standar. Hanya pada kasus-kasus tertentu ahli akan menganjurkan penggunaan pengobatan yang baru atau eksperimental tanpa mencoba lebih dulu pengobatan yang sudah teruji.
2. Asuhan Keperawatan
2.1 Pengkajian
a. Meliputi nama, jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan, dll.
b. Alasan MRS: hal apa yang bisa menyebabkan sampai masuk rumah sakit.
c. Riwayat kesehatan
▪ Riwayat kesehatan sekarang: keluhan apa yang sekarang dirasakan oleh pasien.
▪ Riwayat kesehatan dahulu: apakah sebelumnya pasien pernah menderita penyakit yang sekarang dideritanya atau tidak, atau mungkin sebelumnya pernah menderita penyakit yang lain.
▪ Riwayat kesehatan keluarga: apakah ada keluarga pasien yang menderita penyakit yang sama seperti yang dialami oleh pasien.
▪ Pola istirahat dan tidur: bagaimana pola istirahat dan tidur pasien sebelum dan saat masuk rumah sakit.
▪ Pola nutrisi: bagaimana pola asupan nutrisi pasien baik kebutuhan makan dan kebutuhan cairan sebelum dan saat masuk rumah sakit.
▪ Pola eliminasi: bagaimana pola eliminasi alvi dan eliminasi urine pasien yang meliputi bagaimana volumenya, konsistensinya, dan kontinuitas eliminasi, baik sebelum dan saat masuk rumah sakit.
▪ Pola hubungan dan peran: bagaimana peran pasien dalam hubungannya dengan keluarga dan orang lain baik sebelum dan saat masuk rumah sakit.
▪ Pemeriksaan fisik: pemeriksaan yang dilakukan terhadap fisik pasien yang berkaitan dengan penyakit yang diderita oleh pasien untuk melakukan pengambilan data-data kesehatan pasien serta untuk mengambil langkah yang tepat dalam pemberian terapi lebih lanjut.
▪ Pemriksaan penunjang: pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap sampel yang telah diambil dari pasien yang berguna sebagai data penunjang untuk membantu menentukan terapi yang diberikan kepada pasien.
2.2 Analisa data
Yaitu pengambilan data-data pasien yang telah ada yang diambil dari pengkajian dari pemeriksaan fisik dan pemerikasaan penunjang untuk dilakukan penentuan diagnose keperawatan beserta intervensinya yang berkaitan dengan penyakit yang diderita oleh pasien.
2.3 Diagnosa keperawatan
Ansietas berhubungan dengan pembengkakan kelenjar getah bening
2.4 Intervensi
▪ Mengkaji ukuran pembengkakan.
▪ Mengkaji karakteristik pembengkakan.
▪ Memberikan informasi kepada pasien.
▪ Membantu mengatur posisi pasien dengan memperhatikan daerah pembengkakan.

DAFTAR PUSTAKA
Jonhson,Marion;Maas,Maridean,Moorhead,Sue.2000.Nursing Outcomes Classification (NOC).Phiadelphia:Mosby.

Tinggalkan sebuah Komentar

Ditulis dalam KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH (KMB) | Tag:ASKEP, GETAH BENING, KELENJAR
Oleh: wantohape | Januari 21, 2010
ASKEP KLIEN HEMOFILIA

ASUHAN KEPERAWATAN
KLIEN DENGAN HEMOFILIA

1. Konsep Teori
1.1 Pengertian
Hemofilia adalah kelainan perdarahan yang disebabkan adanya kekurangan salah satu faktor pembekuan darah. Hemofilia merupakan penyakit gangguan pembekuan darah dan diturunkan oleh melalui kromoson X. Hemofilia di bedakan menjadi dua, yaitu Hemofilia A yang ditandai karena penderita tidak memiliki zat antihemofili globulin ( faktor VIII ), Hemofilia B atau Penderita tidak memiliki komponen plasma tromboplastin ( faktor IX ).
1.2 Etiologi
Hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter atau didapat yang sering dijumpai. Hal ini bisa terjadi karena mutasi gen faktor pembekuan darah yaitu faktor VIII atau faktor IX kedua gen tersebut terletak pada kromosom X, sehingga termasuk penyakit resesif. Hemofilia lebih banyak terjadi pada laki-laki, karena mereka hanya mempunyai satu kromosom X, sedangkan wanita umumnya sebagai pembawa sifat saja (carier). Namun wanita juga bisa menderita hemofilia jika mendapatkan kromosom X dari ayah hemofilia dan ibu pembawa carrier dan bersifat letal.
1.3 Patofisiologi
Perdarahan karena gangguan pada pembekuan biasanya terjadi pada jaringan yang letaknya dalam seperti otot, sendi, dan lainnya yang dapat terjadi kerena gangguan pada tahap pertama, kedua dan ketiga, disini hanya akan di bahas gangguan pada tahap pertama, dimana tahap pertama tersebutlah yang merupakan gangguan mekanisme pembekuan yang terdapat pada hemofili A dan B. Perdarahan mudah terjadi pada hemofilia, dikarenakan adanya gangguan pembekuan, di awali ketika seseorang berusia ± 3 bulan atau saat akan mulai merangkak maka akan terjadi perdarahan awal akibat cedera ringan, dilanjutkan dengan keluhan-keluhan berikutnya.
Hemofilia juga dapat menyebabkan perdarahan serebral, dan berakibat fatal. Rasionalnya adalah ketika mengalami perdarahan, berarti terjadi luka pada pembuluh darah (yaitu saluran tempat darah mengalir keseluruh tubuh). Darah keluar dari pembuluh. Pembuluh darah mengerut/ mengecil kemudian Keping darah (trombosit) akan menutup luka pada pembuluh apabila kekurangan jumlah factor pembeku darah tertentu, mengakibatkan anyaman ( Benang Fibrin) penutup luka tidak terbentuk sempurna, akibatnya darah tidak berhenti mengalir keluar pembuluh. Sehingga terjadilah perdarahan.
1.4 Diagnosis
Pemeriksaan Lab. darah
Hemofilia A :
- Defisiensi factor VIII
- PTT (Partial Thromboplastin Time) amat memanjang
- PT (Prothrombin Time/ waktu protombin) memanjang
- TGT (Thromboplastin Generation Test)
- Jumlah trombosit dan waktu perdarahan normal
Hemofilia B :
- Defisiensi factor IX
- PTT (Partial Thromboplastin Time) amat memanjang
- PT (Prothrombin Time)/ waktu protombin dan waktu perdarahan normal
- TGT (Thromboplastin Generation Test)
1.5 Komplikasi, manifestasi klinis dan anamnesa.
Pada hemofilila dapat terjadi komplikasi seperti di bawah ini, yaitu:
a) Adanya Nyeri.
b) Bengkak pada persendian
c) Terjadi Anemia.
d) Kelainan bentuk sendi dan otot.
e) Gangguan Mobilisasi.
Adapun manifestasi klinis yang dapat terjadi pada hemophilia:
a) Perdarahan hebat setelah suatu trauma ringan
b) Perdarahan spontan yang berulang-ulang pada sendi-sendi.
c) Perdarahan yang luar biasa setelah Ekstraksi Gigi.
d) Hematom pada jaringan lunak
e) Hemartrosis dan kontraktur sendi
f) Hematuria
g) Perdarahan serebral
Anamnesa Atau Pemeriksaan Fisik
a. Aktivitas
Tanda : Kelemahan otot
Gejala : kelelahan, malaise, ketidakmampuan melakukan aktivitas.
b. Sirkulasi
Tanda : kulit, membran mukosa pucat, defisit saraf serebral/ tanda
perdarahan serebral
Gejala : Palpitasi
c. Eliminasi
Gejala : Hematuria
d. Integritas Ego
Tanda : Depresi, menarik diri, ansietas, marah.
Gejala : Perasaan tidak ada harapan dan tidak berdaya.
e. Nutrisi
Gejal : Anoreksia, penurunan berat badan.
f. Nyeri
Tanda :.Perilaku berhati-hati, gelisah, rewel.
Gejala : Nyeri tulang, sendi, nyeri tekan sentral, kram otot
g. Keamanan
Tanda : Hematom.
Gejala : Riwayat trauma ringan.
-Terjadi perdarahan spontan pada sendi dan otot yang berulang disertai dengan rasa
nyeri dan terjadi bengkak.
-Perdarahan sendi yang berulang menyebabkan menimbulkan Atropati hemofilia
dengan menyempitnya ruang sendi, krista tulang dan gerakan sendi yang terbatas.
-Biasanya perdarahan juga dijumpai pada Gastrointestinal, hematuria yang
berlebihan, dan juga perdarahan otak.
-Terjadi Hematoma pada Extrimitas.
-Keterbatasan dan nyeri sendi yang berkelanjutan pada perdarahan.

1.6 Terapi pengobatan hemofilia
Terapi akibat perdarahan akut adalah pemberian F VIII. Sekarang sudah ada F VIII yang dapat di berikan secara intra vena, dan apabila tidak mempunyai F VIII maka dapat di berikan kriopresipitat (plasma yang didinginkan) atau di berikan transfusi darah segar.
2. Asuhan Keperawatan
2.1 Pengkajian
a. Meliputi nama, jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan, dll.
b. Alasan MRS: hal apa yang bisa menyebabkan sampai masuk rumah sakit.
c. Riwayat kesehatan
▪ Riwayat kesehatan sekarang: keluhan apa yang sekarang dirasakan oleh pasien.
▪ Riwayat kesehatan dahulu: apakah sebelumnya pasien pernah menderita penyakit yang sekarang dideritanya atau tidak, atau mungkin sebelumnya pernah menderita penyakit yang lain.
▪ Riwayat kesehatan keluarga: apakah ada keluarga pasien yang menderita penyakit yang sama seperti yang dialami oleh pasien.
▪ Pola istirahat dan tidur: bagaimana pola istirahat dan tidur pasien sebelum dan saat masuk rumah sakit.
▪ Pola nutrisi: bagaimana pola asupan nutrisi pasien baik kebutuhan makan dan kebutuhan cairan sebelum dan saat masuk rumah sakit.
▪ Pola eliminasi: bagaimana pola eliminasi alvi dan eliminasi urine pasien yang meliputi bagaimana volumenya, konsistensinya, dan kontinuitas eliminasi, baik sebelum dan saat masuk rumah sakit.
▪ Pola hubungan dan peran: bagaimana peran pasien dalam hubungannya dengan keluarga dan orang lain baik sebelum dan saat masuk rumah sakit.
▪ Pemeriksaan fisik: pemeriksaan yang dilakukan terhadap fisik pasien yang berkaitan dengan penyakit yang diderita oleh pasien untuk melakukan pengambilan data-data kesehatan pasien serta untuk mengambil langkah yang tepat dalam pemberian terapi lebih lanjut.
n Pemriksaan penunjang: pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap sampel yang telah diambil dari pasien yang berguna sebagai data penunjang untuk membantu menentukan terapi yang diberikan kepada pasien.
2.2 Analisa data
Yaitu pengambilan data-data pasien yang telah ada yang diambil dari pengkajian dari pemeriksaan fisik dan pemerikasaan penunjang untuk dilakukan penentuan diagnose keperawatan beserta intervensinya yang berkaitan dengan penyakit yang diderita oleh pasien.
2.3 Diagnose keperawatan
Resiko kekurangan volume cairan b.d faktor resiko kehilangan cairan melalui rute abnormal (perdarahan).
2.4 Intervensi.
▪ Monitor pasien dalam penghentian perdarahan.
▪ Catat jumlah Hb/ hematokrit sebelum dan sesudah perdarahan,
▪ Lindungi pasien dari trauma dimana kemungkinan bisa menyebabkan perdarahan.
▪ Identifikasi penyabab perdarahan.
▪ Monitor jumlah dan pembawaan darah yang keluar.
▪ Menginstruksikan pasien dalam pembatasan aktivitas, jika memungkinkan.

DAFTAR PUSTAKA
-Murray, Robert K.2003.Biokimia Harper Edisi 25. Jakarta: EGC.
-Sudoyo, Aru W. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV jilid 2. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
- Anonym. Hemofilia. http://healthresources.caremark.com/Imagebank/Articles_images/ Hemophilia.gif [Desember, 2nd 2007]

-Anonym. Hemofilia. http://healthresources.caremark.com/Imagebank/Articles_images/ Hemophilia_02.gif [Desember, 2nd 2007]

-Anonim. 1998. Perawatan Kesehatan Penderita Hemofilia. http://www.hemofilia.or.id/perawatan.php [Desember, 2nd 2007]

-Anonim. 1998. Keturunan Hemofilia. http://www.hemofilia.or.id/keturunan.php [Desember, 2nd 2007]

Tinggalkan sebuah Komentar

Ditulis dalam KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH (KMB)
Oleh: wantohape | Januari 7, 2010
ASKEP HEPATOMA

ASKEP HEPATOMA

2.2.1 Pengertian Hepatoma
Karsinoma hepatoseluler atau hepatoma adalah tumor ganas hati primer dan paling sering ditemukan daripada tumor ganas hati primer lainnya seperti limfoma maligna, fibrosarkoma, dan hemangioendotelioma.
Hepatocellular Carcinoma (HCC) atau disebut juga hepatoma atau kanker hati primer atau Karsinoma Hepato Selular (KHS) adalah satu dari jenis kanker yang berasal dari sel hati.
Hepatoma biasa dan sering terjadi pada pasien dengan sirosis hati yang merupakan komplikasi hepatitis virus kronik. Hepatitis virus kronik adalah faktor risiko penting hepatoma, virus penyebabnyaadalah virus hepatitis B dan C.

2.2.2. Faktor Penyebab Hepatoma
Belum diketahui penyebab penyakit ini secara pasti, tapi dari kajian epidemiologi dan biologi molekuler di Indonesia sudah terbukti bahwa penyakit ini berhubungan erat dengan sirrhosis hati, hepatitis virus B aktif ataupun hepatitis B carrier, dan hepatitis virus C dan semua mereka ini termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang berisiko tinggi untuk mendapatkan kanker hati ini.
Faktor lain yang diduga sebagai penyebab kanker hati ini adalah aflatoksinB1 yaitu racun yangdihasilkan oleh sejenis jamur Aspergillus flavus yang terkontaminasi dan melekat pada permukaan makanan seperti beras, kacang, gandum, jagung, dan kacang kedelai yang disimpan pada tempat yang panas dan lembab. AflatoksinB1 yang ikut masuk ke tubuh melalui makanan diperkirakan dapat memicu mutasi P53 gene di dalam sel hati yang seterusnya menimbulkan kanker sel hati.
Bahan-bahan karsinogenik (penyebab kanker) tertentu juga menyebabkan hepatoma. Di daerah subtropis, dimana hepatoma banyak terjadi, makanan sering tercemar oleh bahan karsinogenik yang disebut aflatoksin, yang dihasilkan oleh sejenis jamur. Bahan-bahan Hepatokarsinogenik SEPERTI:
§ Aflatoksin
§ Alkohol
§ Penggunaan steroid anabolic
§ Penggunaan androgen yang berlebihan
§ Bahan kontrasepsi oral
§ Penimbunan zat besi yang berlebihan dalam hati (Hemochromatosi)

2.2.3. Gejala-Gejala Hepatoma
Hepatoma seringkali tak terdiagnosis karena gejala karsinoma tertutup oleh penyakit yang mendasari yaitu sirosis hati atau hepatitis kronik. Pada permulaannya penyakit ini berjalan perlahan, malah banyak tanpa keluhan. Lebih dari 75% tidak memberikan gejala-gejala khas. Ada penderita yang sudah ada kanker yang besar sampai 10 cm pun tidak merasakan apa-apa.
Keluhan utama yang sering adalah :
• Keluhan sakit perut atau rasa penuh ataupun ada rasa bengkak di perut kanan atas
• Nafsu makan berkurang,
• Berat badan menurun, dan rasa lemas.
• Keluhan lain terjadinya perut membesar karena ascites (penimbunan cairan dalam rongga perut), mual, tidak bisa tidur, nyeri otot, berak hitam, demam, bengkak kaki, kuning, muntah, gatal, muntah darah, perdarahan dari dubur, dan lain-lain.
Jika gejala tampak, biasanya sudah stadium lanjut dan harapan hidup sekitar beberapa minggu sampai bulan..Pemeriksaan Alfa Feto Protein(AFP) sangat berguna untuk menegakkan diagnosis penyakit hepatoma ini Penggunaan ultrasonografi ( USG ), Computed Tomographic Scanning (CT Scan), Magnetic Resonance Imaging (MRI) penting untuk menegakkan diagnosis dan mengetahui ukuran tumor.
2.2.4. Deteksi Dini Hepatoma
Dengan perkembangan teknologi yang kian canggih dan kian maju pesat, maka berkembang pulalah cara-cara diagnosa dan terapi yang lebih menjanjikan dewasa ini. Kanker hati selular yang kecil pun sudah bisa dideteksi lebih awal terutamanya dengan pendekatan radiologi yang akurasinya 70 – 95% dan pendekatan laboratorium alphafetoprotein yang akurasinya 60 – 70%.
Kriteria diagnosa Kanker Hati Selular (KHS) menurut PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia), yaitu:
a. Hati membesar berbenjol-benjol dengan/tanpa disertai bising arteri.
b. AFP (Alphafetoprotein)yang meningkat lebih dari 500 mg per ml.
c. Ultrasonography (USG), Nuclear Medicine, Computed Tomography Scann (CT Scann), Magnetic Resonance Imaging (MRI), Angiography, ataupun Positron Emission Tomography (PET) yang menunjukkan adanya KHS.
d. Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya KHS.
e. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan KHS.
Diagnosa KHS didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima kriteria atau hanya satu yaitu kriteria empat atau lima.
2.2.5 Patofisiologi Hepatoma
Hepatoma 75 % berasal dari sirosis hati yang lama/menahun. Khususnya yang disebabkan oleh alkoholik dan postnekrotik.
Pedoman diagnostik yang paling penting adalah terjadinya kerusakan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Pada penderita sirosis hati yang disertai pembesaran hati mendadak.
Tumor hati yang paling sering adalah metastase tumor ganas dari tempat lain. Matastase ke hati dapat terdeteksi pada lebih dari 50 % kematian akibat kanker. Hal ini benar, khususnya untuk keganasan pada saluran pencernaan, tetapi banyak tumor lain juga memperlihatkan kecenderungan untuk bermestatase ke hati, misalnya kanker payudara, paru-paru, uterus, dan pankreas.
Diagnosa sulit ditentukan, sebab tumor biasanya tidak diketahui sampai penyebaran tumor yang luas, sehingga tidak dapat dilakukan reseksi lokal lagi.
2.2.6. Stadium Hepatoma
Stadium I : Satu fokal tumorberdiameter \ hati.
Stadium II : Satu fokal tumor berdiameter > 3 cm. Tumor terbatas pada segment I atau multi-fokal tumor terbatas padlobus kanan atau lobus kiri hati.
Stadium III : Tumorpada segment I meluas ke lobus kiri (segment IV) atau ke lobus kanan segment V dan VIII atau tumordengan invasi peripheral ke sistem pembuluh darah (vascular) atau pembuluh empedu (biliary duct) tetapi hanya terbatas pada lobus kanan atau lobus kiri hati.
Stadium IV :Multi-fokal atau diffuse tumor yang mengenai lobus kanan dan lobus kiri hati.
- atau tumor dengan invasi ke dalam pembuluh darah hati (intra hepaticvaskuler ) ataupun pembuluh empedu (biliary duct)
- atau tumor dengan invasi ke pembuluh darah di luar hati (extra hepatic vessel) seperti pembuluh darah vena limpa (vena lienalis)
- atau vena cava inferior-atau adanya metastase keluar dari hati (extra hepatic metastase)

2.2.7. Pemeriksaan Laboratorium
Sensitivitas Alphafetoprotein (AFP) untuk mendiagnosa KHS 60% – 70%, artinya hanya pada 60% – 70% saja dari penderita kanker hati ini menunjukkan peninggian nilai AFP, sedangkan pada 30% – 40% penderita nilai AFP nya normal. Spesifitas AFP hanya berkisar 60% artinya bila ada pasien yang diperiksa darahnya dijumpai AFP yang tinggi, belum bisa dipastikan hanya mempunyai kanker hati ini sebab AFP juga dapat meninggi pada keadaan bukan kanker hati seperti pada sirrhosis hati dan hepatitis kronik, kanker testis, dan terratoma.
A .BIOPSI
Biopsi aspirasi dengan jarum halus (fine needle aspiration biopsy) terutama ditujukan untuk menilai apakah suatu lesi yang ditemukan pada pemeriksaan radiologi imaging dan laboratorium AFP itu benar pasti suatu hepatoma. Tindakan biopsi aspirasi yang dilakukan oleh ahli patologi anatomi ini hendaknya dipandu oleh seorang ahli radiologi dengan menggunakan peralatan ultrasonografi atau CT scann fluoroscopy sehingga hasil yang diperoleh akurat. Cara melakukan biopsi dengan dituntun oleh USG ataupun CTscann mudah, aman, dan dapat ditolerir oleh pasien dan tumor yang akan dibiopsi dapat terlihat jelas pada layar televisi berikut dengan jarum biopsi yang berjalan persis menuju tumor, sehingga jelaslah hasil yang diperoleh mempunyai nilai diagnostik dan akurasi yang tinggi karena benar jaringan tumor ini yang diambil oleh jarum biopsi itu dan bukanlah jaringan sehat di sekitar tumor.
B .RADIOLOGI
Pesatnya kemajuan teknologi dan komputer membawa serta juga kemajuan dalam bidang radiologi baik peralatannya maupun teknologinya dan peningkatan keahlian dokter spesialis radiologi di bidangnya sehingga dengan demikianmenghantarkan radiologi berada di barisan depan dalam penanggulangan penyakit kanker hati ini dan membuktikan pula dirinya berperan sangat penting untuk mendeteksi kanker hati stadium dini dan berperan sangat menentukan dalam pengobatannya.
Kanker hepato selular ini bisa dijumpai di dalam hati berupa benjolan berbentuk kebulatan (nodule) satu buah,dua buah atau lebih atau bisa sangat banyak dan diffuse (merata) pada seluruh hati atau berkelompok di dalam hati kanan atau kiri membentuk benjolan besar yang bisa berkapsul.
Dengan peralatan radiologi yang baik dan ditangani oleh dokter spesialisradiologi yang berpengalaman sudah terjamin dapat mendeteksi tumor dengan diameter kurang dari 1 cm dan dapatlah menjawab semua pertanyaan seputar kanker ini antara lain berapa banyak nodule yang dijumpai, berapa segment hati yang terkena, bagaimana aliran darah ke kanker yang dilihat itu apakah sangat banyak (lebih ganas), apakah sedang (tidak begitu ganas) atau hanya sedikit (kurang ganas), yang penting lagi apakah ada sel tumor ganas ini yang sudah berada di dalam aliran darah vena porta, apakah sudah ada sirrhosis hati, dan apakah kanker ini sudah berpindah keluar dari hati (metastase) ke organ-organ tubuh lainnya.
Kesemua jawaban inilah yang menentukan stadium kankernya, apakah pasien ini menderita kanker hati stadium dini ataustadium lanjut dan juga menentukan tingkat keganasan kankernya sehingga dengan demikian dapatlah ditaksir prognosanya, penderita dapat disembuhkan sehingga bisa hidup lama atau sudah memang tak tertolong lagi dan tak dapat bertahan hidup lebih lama lagi dari 6 bulan.

C . ULTRASONOGRAFI
Dengan USG hitam putih (grey scale) yang sederhana (conventional) hati yang normal tampak warna ke-abuan dan texture merata (homogen). Bila ada kanker langsung dapat terlihat jelas berupa benjolan (nodule) berwarna kehitaman, atau berwarna kehitaman campur keputihan dan jumlahnya bervariasi pada tiap pasien bisa satu, dua atau lebih atau banyak sekali dan merata pada seluruh hati, ataukah satu nodule yang besar dan berkapsul atau tidak berkapsul. Sayangnya USG conventional hanya dapat memperlihatkan benjolan kanker hatidiameter 2 cm – 3 cm saja. Tapi bila USG conventional ini dilengkapi dengan perangkat lunak harmonik sistem bisa mendeteksi benjolan kanker diameter 1 cm – 2 cm13, namun nilai akurasi ketepatan diagnosanya hanya 60%.
Rendahnya nilai akurasi ini disebabkan walaupun USG conventional ini dapat mendeteksi adanya benjolan kankernamun tak dapat melihat adanya pembuluh darah baru(neo-vascular). Neo-vascular merupakan ciri khas kanker yaitu pembuluh darah yang terbentuk sejalan dengan pertumbuhan kanker yang gunanya untuk menghantarkan makanan dan oksigen ke kanker itu. Semakin banyak neo-vascular ini semakin ganas kankernya. Walaupun USG color yang sudah dapat memberikan warna dan mampu memperlihatkan pembuluh nodule tetapi belum dapat memastikan keberadaan neo-sehingga dengan demikian akurasi diagnostik hanya sedikit bertambah menjadiberkisar 60% – 70%.
Dengan pesatnya perkembangan Color Doppler Flow Imaging (CDFI) yaitu USG yang selain mampu melihat pembuluh darah di sekitar kanker juga mampu pula memperlihatkan kecepatan dan arah aliran darah di dalam pembuluh darah itu, sehingga dapat ditentukan resistensi index dan pulsatily index yang dengan demikian sudah dapat memastikan apakah pembuluh darah yang mengelilingi noduleitu adalah benar neo-vascularisasi dan berapa banyak . Dengan dapat dipastikan keberadaan neo-vascularisasi ini makameningkat jadi 80%.
Neo-vascularisasi yang baru masih bisa dilihat dengan cara diberikan suntikan zat kontras pada penderita sewaktu dilakukan pemeriksaan CDFI USG, zat kontras itu mampu menembus masuk ke dalam neo-vascularisas yang menyusup di nodule. Dengan demikian akurasi diagnosa meningkat menjadi 90% dari 1 cm. Dengan Color Doppler Flow Imaging USG ini juga memungkinkan kita melihat apakah ada portal vein tumor thrombosis yaitu sel-sel kanker (tumor thrombus) yang lepas dan masuk ke dalam vena Porta.
Penting sekali memastikan keberadaantumor thrombus di dalam vena porta ini karena thrombus ini dapat menyumbat aliran darah. Pada keadaan normal semua makanan yang telah dicernakan oleh usus akan dihantarkan ke hati tumor thrombus maka hati sehingga sel-sel hati akan mati (necrosis) secara perlahan tetapi pasti dan ini sangat membahayakan penderita karena dapat terjadi gagal hati (liver Tumor thrombus ini bisa ukurannya besar sehingga menutup kecil, dan hanya menutup sebahagian lumen USG ini sudah bisa diarahkan dengan tepat tindakan pengobatan apa yang paling sesuai dan bermanfaat untuk penderita apakah akan dilakukan (reseksi hepatektomi partial) atau operasi membuang sebahagian hati (reseksi hepatektomi partial) atau tidak, apakah bisa di-embolisasi atau tidak ataukah hanya dilakukan infus kemoterapi intra-arterial saja. Tapi bila sudah jelas terdapat tumor thrombus di dalam vena porta dan sudah pula menyumbat vena ini, maka tindakan operatif dan embolisasi sudah hampir tidak berarti lagi dan satu-satunya cara untuk menyelamatkan penderita adalah dengan cara transplantasi hati (liver transplantation).
D . CT SCAN
Di samping USG diperlukan CT scannsebagai pelengkap yang dapat menilai seluruh segmen hati dalam satu potongan gambar yang dengan USG gambar hati itu hanya bisa dibuat sebagian-sebagian saja. CTscann yang saat ini teknologinya berkembang pesat telah pula menunjukkan akurasi yang tinggi apalagi dengan menggunakan teknik hellical CTscann, multislice yang sanggup membuat irisan-irisan yang sangat halus sehingga kanker yang paling kecil pun tidak terlewatkan. Lebih canggih lagi sekarang CTscann sudah dapat membuat gambar kanker dalam tiga dimensi dan empat dimensi dengan sangat jelas dan dapat pula memperlihatkan hubungan kanker ini dengan jaringan tubuh sekitarnya.
E .ANGIOGRAFI
Dicadangkan hanya untuk penderita kanker hati-nya yang dari hasil pemeriksaan USG dan CTscann diperkirakan masih ada tindakan terapi bedah atau non-bedah masih yang mungkin dilakukan untuk menyelamatkan penderita. Pada setiap pasien yang akan menjalani operasi reseksi hati harus dilakukan pemeriksaan angiografi.
Dengan angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker yang sebenarnya. Kanker yang kita lihat dengan USG yang diperkirakan kecil sesuai dengan ukuran pada USG bisa saja ukuran sebenarnya dua atau tiga kali lebih besar. Angigrafi bisa memperlihatkan ukuran kanker yang sebenarnya.
Lebih lengkap lagi bila dilakukan CT angiographyyang dapatmemperjelas batas antara kanker dan jaringan sehat di sekitarnya sehingga ahli bedah sewaktu melakukan operasi membuang kanker hati itu tahu menentukan di mana harus dibuat batas sayatannya.

F .MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Bila CTscann mengunakan sinar X maka MRI ini menggunakan gelombang magnet tanpa adanya Sinar X. CT angiography menggunakan zat contrast yaitu zat yang diperlukan untuk melihat pembuluh darah. Tanpa zat ini pembuluh darah tak dapat dilihat.
Pemeriksaan dengan MRI ini langsung dipilih sebagai alternatif bila ada gambaran CTscann yang meragukan atau pada penderita yang ada risiko bahaya radiasi sinar X dan pada penderita yang ada kontraindikasi (risiko bahaya) pemberian zat contrast sehingga pemeriksaan CTangiography tak memungkinkan padahal diperlukan gambar peta pembuluh darah. MRI yang dilengkapi dengan perangkat lunak Magnetic ResonanceAngiography (MRA) sudah pula mampu menampilkan dan membuat peta pembuluh darah kanker hati ini.11Sayangnya ongkos pemeriksaan dengan MRI dan MRA ini mahal, sehingga selaluCT scann yang merupakan pilihan pertama.
G .PET (Positron Emission Tomography)
Salah satu teknologi terkini peralatan kedokteran radiologi adalah Positron Emission Tomography (PET) yang merupakan alat pendiagnosis kanker menggunakan glukosa radioaktif yang dikenal sebagai flourine18 atau Fluorodeoxyglucose (FGD) yang mampu mendiagnosa kanker dengan cepat dan dalam stadium dini.
Caranya, pasien disuntik dengan glukosa radioaktif untuk mendiagnosis sel-sel kanker di dalam tubuh. Cairan glukosa ini akan bermetabolisme di dalam tubuh dan memunculkan respons terhadap sel-sel yang terkena kanker. PET dapat menetapkan tingkat atau stadium kanker hati sehingga tindakan lanjut penanganan kanker ini serta pengobatannya menjadi lebih mudah. Di samping itu juga dapat melihat metastase (penyebaran).
Sayangnya alat ini terlalu mahal harganya sehingga biaya pemeriksaannya sangat tinggi dan tak terjangkau oleh banyak penderita kanker hati.
2.2.8. Pengobatan
Pemilihan terapi kanker hati ini sangat tergantung pada hasil pemeriksaan radiologi. Sebelum ditentukan pilihan terapi hendaklah dipastikan besarnya ukuran kanker,lokasi kanker di bahagian hati yang mana, apakah lesinya tunggal (soliter) atau banyak (multiple), atau merupakan satu kanker yang sangat besar berkapsul, atau kanker sudah merata pada seluruh hati, serta ada tidaknya metastasis (penyebaran) ke tempat lain di dalam tubuh penderita ataukah sudah ada tumor thrombus di dalam vena porta dan apakah sudah ada sirrhosis hati. Tahap tindakan pengobatan terbagi tiga, yaitu tindakan bedah hati digabung dengantindakan radiologi dan tindakan non-bedah dan tindakan transplantasi (pencangkokan) hati.
1.Tindakan Bedah Hati Digabung dengan Tindakan Radiologi
Terapi yang paling ideal untuk kanker hati stadium dini adalah tindakan bedah yaitu reseksi (pemotongan) bahagian hati yang terkena kanker dan juga reseksi daerah sekitarnya.
Pada prinsipnya dokter ahli bedah akan membuang seluruh kanker dan tidak akan menyisakan lagi jaringan kanker pada penderita, karena bila tersisa tentu kankernya akan tumbuh lagi jadi besar, untuk itu sebelum menyayat kanker dokter ini harus tahu pasti batas antara kanker dan jaringan yang sehat.
Radiologilah satu-satunya cara untuk menentukan perkiraan pasti batas itu yaitu dengan pemeriksaan CT angiography yang dapat memperjelas batas kanker dan jaringan sehat sehingga ahli bedah tahu menentukan di mana harus dibuat sayatan. Maka harus dilakukan CT angiography terlebih dahulu sebelum dioperasi.
Dilakukan CT angiography sekaligus membuat peta pembuluh darah kanker sehingga jelas terlihat pembuluh darah mana yang bertanggung jawab memberikan makanan (feeding artery) yang diperlukan kanker untuk dapat tumbuh subur. Sesudah itu barulah dilakukan tindakan radiologi Trans Arterial Embolisasi (TAE) yaitu suatu tindakan memasukkan suatu zat yang dapat menyumbat pembuluh darah (feeding artery) itu sehingga menyetop suplai makanan ke sel-sel kanker dan dengan demikian kemampua hidup (viability) dari sel-sel kanker akan sangat menurun sampai menghilang.
Sebelum dilakukan TAE dilakukan dulu tindakan Trans Arterial Chemotherapy (TAC) dengan tujuan sebelum ditutup feeding artery lebih dahulu kanker-nya disirami racun (chemotherapy) sehingga sel-sel kanker yang sudah kena racun dan ditutup lagi suplai makanannya maka sel-sel kanker benar-benar akan mati dan tak dapat berkembang lagi dan bila sel-sel ini nanti terlepas pun saat operasi tak perlu dikhawatirkan, karena sudah tak mampu lagi bertumbuh.
Tindakan TAE digabung dengan tindakan TAC yang dilakukan olehdokter spesialis radiologi disebut tindakan Trans Arterial Chemoembolisation (TACE). Selain itu TAE ini juga untuk tujuan supportif yaitu mengurangi perdarahan pada saat operasi dan juga untuk mengecilkan ukuran kanker dengan demikian memudahkan dokter ahli bedah. Setelah kanker disayat, seluruh jaringan kanker itu harus diperiksakan pada dokter ahli patologi yaitu satu-satunya dokter yang berkompentensi dan yang dapat menentukan dan memberikan kata pasti apakah benar pinggir sayatan sudah bebas kanker.
Bila benar pinggir sayatan bebas kanker artinya sudahlah pasti tidak ada lagi jaringan kanker yang masih tertinggal di dalam hati penderita. Kemudian diberikan chemotherapy (kemoterapi) yang bertujuan meracuni sel-sel kanker agar tak mampu lagi tumbuh berkembang biak.
Pemberian Kemoterapi dilakukan oleh dokter spesialis penyakit dalam bahagian onkologi (medical oncologist) ini secara intra venous (disuntikkan melalui pmbuluh darah vena) yaitu epirubucin/dexorubicin 80 mg digabung dengan mitomycine C 10 mg. Dengan cara pengobatan seperti ini usia harapan hidup penderita per lima tahun 90% dan per 10 tahun 80%.
2.TindakanNon-bedah Hati
Tindakan non-bedah merupakan pilihan untuk pasien yang datang pada stadium lanjut.. Termasuk dalam tindakan non-bedah ini adalah:
a. Embolisasi Arteri Hepatika (Trans Arterial Embolisasi = TAE)
Pada prinsipnya sel yang hidup membutuhkan makanan dan oksigen yang datangnyabersama aliran darah yang menyuplai sel tersebut. Pada kanker timbul banyak sel-sel baru sehingga diperlukan banyak makanan dan oksigen, dengan demikian terjadi banyak pembuluh darah baru (neo-vascularisasi) yang merupakan cabang-cabang dari pembuluh darah yang sudah ada disebut pembuluh darah pemberi makanan (feeding artery) Tindakan TAE ini menyumbat feeding artery. Caranya dimasukkan kateter melalui pembuluh darah di paha (arteri femoralis) yang seterusnya masuk ke pembuluh nadi besar di perut (aorta abdominalis) dan seterusnya dimasukkan ke pembuluh darah hati (artery hepatica) dan seterusnya masuk ke dalam feeding artery. Lalu feeding artery ini disumbat (di-embolisasi) dengan suatu bahan seperti gel foam sehingga aliran darah ke kanker dihentikan dan dengan demikian suplai makanan dan oksigen ke sel-sel kanker akan terhenti dan sel-sel kanker ini akan mati. Apalagi sebelum dilakukan embolisasi dilakukan tindakan trans arterial chemotherapy yaitu memberikan obat kemoterapi melalui feeding artery itu maka sel-sel kanker jadi diracuni dengan obat yang mematikan. Bila kedua cara ini digabung maka sel-sel kanker benar-benar terjamin mati dan tak berkembang lagi.Dengan dasar inilah embolisasi dan injeksi kemoterapi intra-arterial dikembangkan dan nampaknya memberi harapan yang lebih cerah pada penderita yang terancam maut ini. Angka harapan hidup penderita dengan cara ini per lima tahunnya bisa mencapai sampai 70% dan per sepuluh tahunnya bisa mencapai 50%.

b. Infus Sitostatika Intra-arterial
Menurut literatur 70% nutrisi dan oksigenasi sel-sel hati yang normal berasal dari vena porta dan 30% dari arteri hepatika, sehingga sel-sel ganas mendapat nutrisi dan oksigenasi terutama dari sistem arteri hepatika. Bila Vena porta tertutup oleh tumor maka makanan dan oksigen ke sel-sel hati normal akan terhenti dan sel-sel tersebut akan mati. Dapatlah dimengerti kenapa pasien cepat meninggal bila sudah ada penyumbatan vena porta ini .
Infus sitostatika intra-arterial ini dikerjakan bila vena porta sampai ke cabang besar tertutup oleh sel-sel tumor di dalamnya dan pada pasien tidak dapat dilakukan tindakan transplantasi hati oleh karena ketiadaan donor, atau karena pasien menolak atau karena ketidakmampuan pasien.
Sitostatika yang dipakai adalah mitomycin C 10 – 20 Mg kombinasi dengan adriblastina 10-20 Mg dicampur dengan NaCl (saline) 100 – 200 cc. Atau dapat juga cisplatin dan 5FU (5 Fluoro Uracil).
Metoda ballon occluded intra arterial infusion adalah modifikasi infus sitostatika intra-arterial, hanya kateter yang dipakai adalah double lumen balloncatheter yang di-insert (dimasukkan) ke dalam arteri hepatika. Setelah ballon dikembangkan terjadi sumbatan aliran darah, sitostatika diinjeksikan dalam keadaan ballon mengembang selama 10 – 30 menit, tujuannya adalah memperlama kontak sitostatika dengan tumor. Dengan cara ini maka harapan hidup pasien per lima tahunnya menjadi 40% dan per sepuluh tahunnya 30% dibandingkan dengan tanpa pengobatan adalah20% dan 10%.20
c. Injeksi Etanol Perkutan (Percutaneus Etanol Injeksi = PEI)
Pada kasus-kasus yang menolak untuk dibedah dan juga menolak semua tindakan atau pasien tidak mampu membiayai pembedahan dan tak mampu membiayai tindakan lainnya maka tindakan PEI-lah yang menjadi pilihan satu-satunya.
Tindakan injeksi etanol perkutan ini mudah dikerjakan, aman, efek samping ringan, biaya murah, dan hasilnya pun cukup memberikan harapan. PEI hanya dikerjakan pada pasien stadium dini saja dan tidak pada stadium lanjut. Sebagian besar peneliti melakukan pengobatan dengan cara ini untuk kanker bergaris tengah sampai 5 cm, walaupun pengobatan paling optimal dikerjakan pada garis tengah kurang dari 3 cm.
Pemeriksaan histopatologi setelah tindakan membuktikan bahwa tumor mengalami nekrosis yang lengkap.
Sebagian besar peneliti menyuntikkan etanol perkutan pada kasus kanker ini dengan jumlah lesi tidak lebih dari3 buah nodule, meskipun dilaporkan bahwa lesi tunggal merupakan kasus yang paling optimal dalam pengobatan. Walaupun kelihatannya cara ini mungkin dapat menolong tetapi tidak banyak penelitian yang memadai dilakukan sehingga hanya dikatakan membawa tindakan ini memberi hasil yang cukup baik.
d. Terapi Non-bedah Lanilla
Terapi non-bedah lainnya saat ini sudah dikembangkan dan hanya dilakukan bila terapi bedah reseksi dan Trans Arterial Embolisasi (TAE) ataupun Trans Arterial Chemoembolisation ataupun Trans Arterial Chemotherapy tak mungkin dilakukan lagi. Di antaranya yaitu terapi Radio Frequency Ablation Therapy (RFA),Proton Beam Therapy, Three Dimentional Conformal Radiotherapy (3DCRT), Cryosurgery yang kesemuanya ini bersifat palliatif (membantu) bukan kuratif (menyembuhkan) keseluruhannya.
e. Tindakan Transplantasi Hati
Bila kanker hati ini ditemukan pada pasien yang sudah ada sirrhosis hati dan ditemukan kerusakan hati yang berkelanjutan atau sudah hampir seluruh hati terkena kanker atau sudah ada sel-sel kanker yang masuk ke vena porta (thrombus vena porta) maka tidak ada jalan terapi yang lebih baik lagi dari transplantasi hati.
Transplantasi hati adalah tindakan pemasangan organ hati dari orang lain ke dalam tubuh seseorang. Langkah ini ditempuh bila langkah lain seperti operasi dan tindakan radiologi seperti yang disebut di atas tidak mampu lagi menolong pasien. Akan tetapi,langkah menuju transplantasi hati tidak mudah, pasalnya ketersediaan hati untuk di-transplantasikan sangat sulit diperoleh seiring kesepakatan global yang melarang jual beli organ tubuh.
Selain itu, biaya transplantasi tergolong sangat mahal. Dan pula sebelum proses transplantasi harus dilakukan serangkaian pemeriksaan seperti tes jaringan tubuh dan darah yang tujuannya memastikan adanya kesamaan/kecocokan tipe jaringan tubuh pendonor dan pasien agar tidak terjadi penolakan terhadap hati baru. Penolakan bisa berupa penggerogotan hati oleh zat-zat dalam darah yang akan menimbulkan kerusakan permanen dan mempercepat kematian penderita. Seiring keberhasilan tindakan transplantasi hati, usia pasien setidaknya akan lebih panjang lima tahun.
2.2.9 KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada sirosis adalah asites, perdarahan saluran cerna bagian atas, ensefalopati hepatika, dan sindrom hepatorenal. Sindrom hepatorenal adalah suatu keadaan pada pasien dengan hepatitis kronik, kegagalan fungsi hati, hipertensi portal, yang ditandai dengan gangguan fungsi ginjal dan sirkulasi darah Sindrom ini mempunyai risiko kematianyangtinggi. Terjadinya gangguan ginjal pada pasien dengan sirosis hati ini baru dikenal pada akhir abad 19 dan pertamakali dideskripsikan oleh Flint dan Frerichs. Penatalaksanaan sindrom hepatorenal masih belum memuaskan; masih banyak kegagalan sehingga menimbulkan kematianPrognosis pasien dengan penyakit ini buruk.
2.2.10 Asuhan Keperawatan Hematoma
B. Konsep Dasar
1. Pengkajian
Gejala Klinik
Fase dini : Asimtomatik.
Fase lanjut :Tidak dikenal simtom yang patognomonik.
Keluhan berupa nyeri abdomen, kelemahan dan penurunan berat badan, anoreksia, rasa penuh setelah makan terkadang disertai muntah dan mual. Bila ada metastasis ke tulang penderita mengeluh nyeri tulang.
Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan :
1. Ascites
2. Ikterus
3. Hipoalbuminemia
4. Splenomegali, Spider nevi, Eritoma palmaris, Edema.

Secara umum pengkajian Keperawatan pada klien dengan kasus kanker hati, meliputi :
1. Gangguan metabolisme
2. Perdarahan
3. Asites
4. Edema
5. Hipoproteinemia
6. Jaundice/icterus
7. Komplikasi endokrin
8. Aktivitas terganggu akibat pengobatan

II.DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. tidak seimbangan nutrisi berhubungan dengan anoreksia, mual, gangguan absorbsi, metabolisme vitamin di hati.

TUJUAN :
1. Mendemontrasikan BB stabil, penembahan BB progresif kearah tujuan dgn normalisasi nilai laboratorium dan batas tanda-tanda malnutrisi
2. Penanggulangan pemahaman pengaruh individual pd masukan adekuat .

INTERVENSI

1. Pantau masukan makanan setiap hari, beri pasein buku harian tentang makanan sesuai indikasi
2. Dorong pasien utk makan deit tinggi kalori kaya protein dg masukan cairan adekuat. Dorong penggunaan suplemen dan makanan sering / lebih sedikit yg dibagi bagi selama sehari.
3. Berikan antiemetik pada jadwal reguler sebelum / selama dan setelah pemberian agent antineoplastik yang sesuai .

RASIONAL :

1. Keefektifan penilaian diet individual dalam penghilangan mual pascaterapi. Pasien harus mencoba untuk menemukan solusi/kombinasi terbaik.
2. Kebutuhan jaringan metabolek ditingkatkan begitu juga cairan ( untuk menghilangkan produksi sisa ). Suplemen dapat memainkan peranan penting dlm mempertahankan masukan kalori dan protein adekuat.
3. Mual/muntah paling menurunkan kemampuan dan efek samping psikologis kemoterapi yang menimbulkan stess.

B. Nyeri berhubungan dengan tegangnya dinding perut ( asites )

TUJUAN
1. Mendemontrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas hiburan sesuai indikasi nyeri.
2. Melaporkan penghilangan nyeri maksimal / kontrol dengan pengaruh minimal pada AKS

INTERVENSI

1. Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi , frekwensi, durasi dan intensitas ( 0-10 ) dan tindakan penghilang rasa nyeri misalkan berikan posisi yang duduk tengkurap dengan dialas bantal pada daerah antara perut dan dada.
2. Berikan tindakan kenyamanan dasar misalnya reposisi, gosok punggung.
3. kaji tingkat nyeri / kontrol nilai

RASIONAL
1. memberikan data dasar untuk mengevaluasi kebutuhan / keefektifan intervensi misalnya : nyeri adalahindividual yang digabungkan baik respons fisik dan emesional
2. meningkatkan relaksasi dan membantu memfokuskan kembali perhatian
3. kontrol nyeri maksimum dengan pengaruh minimum pada AKS.

A. Intoleransi aktivitas b.d ketidak seimbangan antara suplai O2 dengan kebutuhan

TUJUAN :
1. dapat melakukan aktivitas sesuai kemampuan tubuh.

INTERVENSI

1. dorong pasein untuk melakukan apa saja bila mungkin, misalnya mandi, bangun dari kursi/ tempat tidur, berjalan. Tingkatkan aktivitas sesuai kemampuan.
2. pantau respon fisiologi terhadap aktivitas misalnya; perubahan pada TD/ frekuensi jantung / pernapasan.
3. beri oksigen sesuai indikasi

RASIONAL

1. meningkatkan kekuatan / stamina dan memampukan pasein menjadi lebih aktif tanpa kelelahan yang berarti.
2. teloransi sangat tergantung pada tahap proses penyakit, status nutrisi, keseimbnagan cairan dan reaksi terhadap aturan terapeutik.
3. adanya hifoksia menurunkan kesediaan O2 untuk ambilan seluler dan memperberat keletihan.

D. Resiko terjadinya gangguan integritas kulit berhubungan dengan pruritus,edema dan asites
TUJUAN :
1. Mengedentifikasi fiksi intervensi yang tepat untuk kondisi kusus.
2. Berpartisipasi dalam tehnik untuk mencegah komplikasi / meningkatkan penyembuhan

INTERVENSI
1. Kaji kulit terhadap efek samping terapi kanker. Perhatikan kerusakan atau perlambatan penyembuhan .
2. Mandikan dengan air hangat dan sabun
3. Dorong pasien untuk menghindari menggaruk dan menepuk kulit yang kering dari pada menggaruk.
4. Balikkan / ubah posisi dengan sering
5. Anjurkan pasein untuk menghindari krim kulit apapun ,salep dan bedak kecuali seijin dokter

RASIONAL
1. Efek kemerahan atau reaksi radiasi dapat terjadi dalam area radiasi dapat terjadi dalam area radiasi. Deskuamasi kering dan deskuamasi kering,ulserasi.
2. Mempertahankan kebersihan tanpa mengiritasi kulit.
3. Membantu mencegah friksi atau trauma fisik.
4. Untuk meningkatkan sirkulasi dan mencegah tekanan pada kulit/ jaringan yang tidak perlu.
5. Dapat meningkatkan iritasi atau reaksi secara nyata

1 Komentar

Ditulis dalam KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH (KMB)
Oleh: wantohape | Januari 7, 2010
ASKEP TRAUMA ABDOMEN

ASKEP TRAUMA ABDOMEN
2.1.1 Pengertian
Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologi akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001). Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001). Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001). Trauma abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan monologi dan gangguan faal berbagai organ.

2.1.2 Etiologi dan Klasifikasi
1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium).
Disebabkan oleh : luka tusuk, luka tembak.
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).
Disebabkan oleh : pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt) ( FKUI, 1995 ).

2.1.3 Patofisiologi
Tusukan/tembakan : pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt).
Trauma Abdomen :
a. Trauma tumpul abdomen
Kehilangan darah, memar/jejas pada dinding perut, kerusakan organ-organ, nyeri, iritasi cairan usus.
b. Trauma tembus abdomen
Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri, kematian sel.

Trauma tumpul abdomen dan tembus abdomen menyebabkan :
• Kerusakan integritas kulit
• Syok dan pendarahan
• Kerusakan pertukaran gas
• Resiko tinggi terhadap infeksi
• Nyeri akut

2.1.4 Tanda dan Gejala
1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium):
Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri, kematian sel.
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium):
Kehilangan darah, memar/jejas pada dinding perut, kerusakan organ-organ, nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut, iritasi cairan usus (FKUI,1995).

2.1.5 Komplikasi
Segera : hemoragi, syok, dan cedera
Lambat : infeksi (Smeltzer, 2001)

2.1.6 Pemeriksaan Diagnotik
Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar ; kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan kateterisasi, adanya darah menunjukkan adanya lesi pada saluran kencing.
Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine.
Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi.
IVP/sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma saluran kencing.
Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang diragukan adanya kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut yang disertai dengan trauma kepala yang berat, dilakukan dengan menggunakan jarum fungsi no 18 atau 20 yang ditusukkan melalui dinding perut didaerah kuadran bawah atau digaris tengah dibawah pusat dengan menggosokkan buli-buli terlebih dahulu.

2.1.7 Penatalaksanaan
Pemasangan NGT untuk pengosongan isi lambung dan mencegah aspirasi.
Kateter dipasang untuk mengosongkan kandung kencing dan menilai urin yang keluar (pendarahan).
Pembedahan / laparatomi ( untuk trauma tembus dan trauma tumpul jika terjadi rangsangan peritoneal : syok; bising usus tidak terdengar ; prolaps visera melalui luka tusuk ; darah dalam lambung, buli-buli, rektum ; udara bebas intraperitoneal ; lavase peritoneal positif ; cairan bebas dalam rongga perut ) (FKUI, 1995).

2.2 Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh. Pengkajian pasien trauma abdomen (Smeltzer, 2001) adalah meliputi :
1. Trauma tembus abdomen
Dapat riwayat mekanisme cedera ; kekuatan tusukan / tembakan ; kekuatan tumpul (pukulan).
Inspeksi abdomen untuk tanda cedera sebelumnya : cedera tusuk, memar, dan tempat keluarnya peluru.
Auskultasi ada/tidaknya bising usus dan catat data dasar sehinggga perubahan dapat dideteksi. Adanya bising usus adalah tanda awal keterlibatan intraperitonel ; jika ada tanda iritasi peritonium, biasanya dilakukan laparatomi (insisi pembedahan kedalam rongga abdomen).
Kaji pasien untuk progesi distensi abdomen, gerakan melindungi, nyeri tekan, kekakuan otot atau nyeri lepas, penurunan bising usus, hipotensi dan syok.
Kaji cedera dada yang sering mengikuti cedera intra-abdomen, observasi cedera yang berkaitan.
Catat semua tanda fisik selama pemeriksan pasien.

2. Trauma tumpul abdomen
Dapat riwayat detil jika mungkin (sering tidak bisa didapatkan, tidak akurat, atau salah) dapatkan semua data yang mungkin tentang hal-hal sebagai berikut :
Metode cedera, waktu awitan gejala, lokasi penumpang jika kecelakaan lalu lintas (sopir sering menderia ruptur limpa atau hati). Sabuk keselamatan digunakan/tidak, tipe restrain yang digunakan, waktu makan atau minum terakhir, kecenderungan perdarahan, penyakit dan medikasi terbaru, riwayat immunisasi, dengan perhatian pada tetanus, alergi, lakukan pemeriksaan cepat pada seluruh tubuh pasien untuk mendeteksi masalah yang mengancam kehidupan. (Keperawatan Mediakl Bedah : Brunner dan Suddarth, hal. 2476 – 2477).

2.2.2 Penatalaksanaan
1. Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan sirkulasi) sesuai indikasi.
2. Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan ; gerakan dapat menyebabkan fragmentasi bekuan pada pembuluh darah besar dan menimbulkan hemoragi masif.
a) Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem saraf.
b) Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar x leher didapatkan.
c) Gunting baju dari luka.
d) Hitung jumlah luka
e) Tentukan lokasi luka masuk dan keluar
3. Kaji tanda dan gejala hemoragi. Hemoragi sering menyertai cedera abdomen, khususnya hati dan limpa mengalami trauma.
4. Kontrol perdarahan dan pertahanan volume darah sampai pembedahan dilakukan.
a) Berikan kompresi pada luka perdarahan eksternal dan bendengan luka dada.
b) Pasang kateter IV diameter besar untuk penggantian cairan cepat dan memperbaiki dinamika sirkulasi.
c) Perhatikan kejadian syok setelah respon awal terjadi terhadap transfusi ; ini sering merupakan tanda adanya perdarahan internal.
d) Dokter dapat melakukan parasentesis untuk mengidentifikasi tempat perdarahan.
5. Aspirasi lambung dengan selang nasogastrik. Prosedur ini membantu mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi terhadap rongga peritonium, dan mencegah komplikasi paru karena aspirasi.
6. Tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan salin basah untuk mencegah kekeringan visera
a) Fleksikan lutut pasien ; posisi ini mencegah protusi lanjut
b) Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya peristaltik dan muntah.
7. Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria dan pantau haluaran urine.
8. Pertahankan lembar alur terus menerus tentang tanda vital, haluaran urine, pembacaan tekanan vena sentral pasien (bila diindikasikan), nilai hematokrit, dan status neurologik.
9. Siapkan untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika terdapat ketidakpastian mengenai perdarahan intraperitonium.
10. Siapkan sinografi untuk menentukan apakah terdapat penetrasi peritonium pada kasus luka tusuk.
a) Jahitan dilakukan disekeliling luka.
b) Kateter kecil dimasukkan ke dalam luka.
c) Agens kontras dimasukkan melalui kateter ; sinar x menunjukkan apakah penetrasi peritonium telah dilakukan.
11. Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.
12. Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. Trauma dapat menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier mekanis, bakteri eksogen dari lingkungan pada waktu cedera dan manuver diagnostik dan terapeutik (infeksi nosokomial).
13. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan darah, adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau hematuria.

2.2.3 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994).
Diagnosa keperawatan pada pasien dengan trauma abdomen (Wilkinson, 2006) adalah :
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk.
2. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit.
3. Nyeri akut berhubungan dengan trauma / diskontinuitas jaringan.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri / ketidak nyamanan, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan / tahanan.

2.2.4 Intervensi dan Implementasi
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994).
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995).
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan trauma abdomen (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami perubahan secara tidak diinginkan.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai
Kriteria hasil : - Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a) Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/: Mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
b) Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka
R/: Mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
c) Pantau peningkatan suhu tubuh
R/: Suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.
d) Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
R/: Tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
e) Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/: Agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lannya.
f) Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/: Balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/tidaknya luka, agar tidak terjadi infeksi.
g) Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi
R/: Antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.

2. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit.
Tujuan : Infeksi tidak terjadi / terkontrol
Kriteria hasil : - Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus
- Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.

Intervensi dan Implementasi :
a) Pantau tanda-tanda vital
R/: Mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutamabila suhu tubuh meningkat.
b) Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/: Mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
c) Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infus, kateter, darinase luka, dll.
R/: Untuk mengurangi resiko infeksi nosokomial.
d) Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit
R/: Penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi.
e) Kolaborasi untuk pemberian antibiotik
R/: Antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.

3. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti kerusakan ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.
Tujuan : Nyeri dapat berkurang atau hilang
Kriteria hasil : - Nyeri berkurang atau hilang
- Klien tampak tenang
Intervensi dan Implementasi :
a) Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga.
R/: Hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif

b) Kaji tingkat intensitas dan frekwensi.
R/: Tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
c) Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/: Memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri
d) Observasi tanda-tanda vital
R/: Untuk mengetahui perkembangan klien
e) Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik
R/: Merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.

4. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaan seorang individu yang tidak cukup mempunyai energi fisiologi atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktivitas sehari-hari yang diinginkan.
Tujuan : Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas
Kriteria hasil : - Perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
- Pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
- Koordinasi otot, tulang dana nggota gerak lainnya baik.
Intervensi dan Implementasi :
a. Rencana periode istirahat yang cukup
R/: Mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan untuk aktivitas seperlunya secara optimal.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap
R/: Tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan menghemat tenagab namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/: Mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien
R/: Menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.

5. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakan fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tujuan : Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitasoptimal
Kriteria hasil : - Penampilan yang seimbang
- Melakukan pergerakan dan perpindahan
- Mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat bantu
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
a) Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/: Mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi
b) Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas
R/: Mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidak mampuan ataukah ketidak mauan
c) Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu
R/ : Menilai batasan kemampuan aktivitas optimal
d) Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif
R/: Mempertahankan / meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot
e) Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi
R/: Sebagai suatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan / meningkatkan mobilitas pasien.

2.2.5 Evaluasi
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan trauma abdomen adalah :
1. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
2. Infeksi tidak terjadi / terkontrol
3. Nyeri dapat berkurang atau hilang
4. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas
5. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar