Rabu, 08 Desember 2010

TUMOR OTAK


Definisi
Tumor otak adalah terdapatnya lesi yang ditimbulkan karena ada desakan ruang baik jinak maupun ganas yang tumbuh di otak, meningen, dan tengkorak. (price, A. Sylvia, 1995: 1030)
Tumor otak adalah suatu lesi ekspansif yang bersifat jinak (benigna) ataupun ganas (maligna) membentuk massa dalam ruang tengkorak kepala (intra cranial) atau di sumsum tulang belakang (medulla spinalis). Neoplasma pada jaringan otak dan selaputnya dapat berupa tumor primer maupun metastase. Apabila sel-sel tumor berasal dari jaringan otak itu sendiri disebut tumor otak primer dan bila berasal dari organ-organ lain (metastase) seperti kanker paru, payudara, prostate, ginjal, dan lain-lain disebut tumor otak sekunder. (Mayer. SA,2002)
Tekanan intra kranial ( TIK ) adalah suatu fungsi nonlinier dari fungsi otak, cairan serebrospinal ( CSS ) dan volume darah otak sehingga. Sedangkan peningkatan intra kranial ( PTIK ) dapat terjadi bila kenaikan yang relatif kecil dari volume otak, keadaan ini tidak akan cepat menyebabkan tekanan tinggi intrakranial, sebab volume yang meninggi ini dapat dikompensasi dengan memindahkan cairan serebrospinal dari rongga tengkorak ke kanalis spinalis dan volume darah intrakranial akan menurun oleh karena berkurangnya peregangan durameter. Hubungan antara tekanan dan volume ini dikenal dengan complience. Jadi jika otak, darah dan cairan serebrospinal volumenya terus menerus meninggi, maka mekanisme penyesuaian ini akan gagal dan terjadi peningkatan intrakranial yang mengakibatkan herniasi dengan gagal pernapasan dan gagal jantung serta kematian.

Klasifikasi Tumor Otak
Tumor otak dapat di klasifikasikan:
A. Berdasarkan jenis tumor
a. Jinak
1. Acoustic neuroma
2. Meningioma
Sebagian besar tumor bersifat jinak, berkapsul, dan tidak menginfiltrasi jaringan sekitarnya tetapi menekan struktur yang berada di bawahnya. Pasien usia tua sering terkena dan perempuan lebih sering terkena dari pada laki-laki. Tumor ini sering kali memiliki banyak pembuluh darah sehingga mampu menyerap isotop radioaktif saat dilakukan pemeriksaan CT scan otak.
3. Pituitary adenoma
4. Astrocytoma (grade I)
b. Malignant
1. Astrocytoma (grade 2,3,4)
2. Oligodendroglioma
Tumor ini dapat timbul sebagai gangguan kejang parsial yang dapat muncul hingga 10 tahun. Secara klinis bersifat agresif dan menyebabkan simptomatologi bermakna akibat peningkatan tekanan intrakranial dan merupakan keganasan pada manusia yang paling bersifat kemosensitif.
3. Apendymoma
Tumor ganas yang jarang terjadi dan berasal dari hubungan erat pada ependim yang menutup ventrikel. Pada fosa posterior paling sering terjadi tetapi dapat terjadi di setiap bagian fosa ventrikularis. Tumor ini lebih sering terjadi pada anak-anak daripada dewasa. Dua faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan reseksi tumor dan kemampuan bertahan hidup jangka panjang adalah usia dan letak anatomi tumor. Makin muda usia pasien maka makin buruk progmosisnya.
B. Berdasarkan lokasi
a. Tumor supratentorial
Hemisfer otak, terbagi lagi :
1. Glioma :
i) Glioblastoma multiforme
Tumor ini dapat timbul dimana saja tetapi paling sering terjadi di hemisfer otak dan sering menyebar kesisi kontra lateral melalui korpus kolosum.
ii) Astroscytoma
iii) Oligodendroglioma
Merupakan lesi yang tumbuh lambat menyerupai astrositoma tetapi terdiri dari sel-sel oligodendroglia. Tumor relative avaskuler dan cenderung mengalami klasifikasi biasanya dijumpai pada hemisfer otak orang dewasa muda.
2. Meningioma
Tumor ini umumnya berbentuk bulat atau oval dengan perlekatan duramater yang lebar (broad base) berbatas tegas karena adanya psedokapsul dari membran araknoid. Pada kompartemen supratentorium tumbuh sekitar 90%, terletak dekat dengan tulang dan kadang disertai reaksi tulang berupa hiperostosis. Karena merupakan massa ekstraaksial lokasi meningioma disebut sesuai dengan tempat perlekatannya pada duramater, seperti Falk (25%), Sphenoid ridge (20%), Konveksitas (20%), Olfactory groove (10%), Tuberculum sellae (10%), Konveksitas serebellum (5%), dan Cerebello-Pontine angle. Karena tumbuh lambat defisit neurologik yang terjadi juga berkembang lambat (disebabkan oleh pendesakan struktur otak di sekitar tumor atau letak timbulnya tumor). Pada meningioma konveksitas 70% ada di regio frontalis dan asimptomatik sampai berukuran besar sekali. Sedangkan di basis kranii sekitar sella turcika (tuberkulum sellae, planum sphenoidalis, sisi medial sphenoid ridge) tumor akan segera mendesak saraf optik dan menyebabkan gangguan visus yang progresif.
b. Tumor infratentorial
1. Schwanoma akustikus
2. Tumor metastasisc
Lesi-lesi metastasis menyebabkan sekitar 5 % – 10 % dari seluruh tumor otak dan dapat berasal dari setiap tempat primer. Tumor primer paling sering berasal dari paru-paru dan payudara. Namun neoplasma dari saluran kemih kelamin, saluran cerna, tulang dan tiroid dapat juga bermetastasis ke otak.
a. Meningioma
Meningioma merupakan tumor terpenting yang berasal dari meningen, sel-sel mesotel, dan sel-sel jaringan penyambung araknoid dan dura.
b. Hemangioblastoma
Neoplasma yang terdiri dari unsur-unsur vaskuler embriologis yang paling sering dijumpai dalam serebelum.


 Etiologi Tumor Otak
Penyebab tumor hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti walaupun telah banyak penyelidikan yang dilakukan. Adapun faktor-faktor yang perlu ditinjau, yaitu:
a. Herediter
Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan kecuali pada meningioma, astrocytoma dan neurofibroma dapat dijumpai pada anggota-anggota sekeluarga. Sklerosis tuberose atau penyakit Sturge-Weber yang dapat dianggap sebagai manifestasi pertumbuhan baru memperlihatkan faktor familial yang jelas. Selain jenis-jenis neoplasma tersebut tidak ada bukti-bukti yang kuat untuk memikirkan adanya faktor-faktor hereditas yang kuat pada neoplasma.
b. Sisa-sisa Sel Embrional (Embryonic Cell Rest)
Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-bangunan yang mempunyai morfologi dan fungsi yang terintegrasi dalam tubuh. Ada kalanya sebagian dari bangunan embrional tertinggal dalam tubuh menjadi ganas dan merusak bangunan di sekitarnya. Perkembangan abnormal itu dapat terjadi pada kraniofaringioma, teratoma intrakranial dan kordoma.
c. Radiasi
Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat mengalami perubahan degenerasi namun belum ada bukti radiasi dapat memicu terjadinya suatu glioma. Meningioma pernah dilaporkan terjadi setelah timbulnya suatu radiasi.
d. Virus
Banyak penelitian tentang inokulasi virus pada binatang kecil dan besar yang dilakukan dengan maksud untuk mengetahui peran infeksi virus dalam proses terjadinya neoplasma tetapi hingga saat ini belum ditemukan hubungan antara infeksi virus dengan perkembangan tumor pada sistem saraf pusat.
e. Substansi-substansi karsinogenik
Penyelidikan tentang substansi karsinogen sudah lama dan luas dilakukan. Kini telah diakui bahwa ada substansi yang karsinogenik seperti methylcholanthrone, nitroso-ethyl-urea. Ini berdasarkan percobaan yang dilakukan pada hewan.
f. Trauma Kepala

Patofisiologi Tumor Otak
Tumor otak terjadi karena adanya proliferasi atau pertumbuhan sel abnormal secara sangat cepat pada daerah central nervous system (CNS). Sel tersebut mempunyai deoxiribonukleat Acid (DNA) abnormal. DNA yang abnormal tidak dapat mengontrol pembelahan sel sehingga terjadi pertumbuhan sel yang berlebihan. Sel ini akan terus berkembang mendesak jaringan otak yang sehat di sekitarnya mengakibatkan terjadi gangguan neurologis (gangguan fokal akibat tumor dan peningkatan tekanan intrakranial). Penyebab tumor otak didapat dari faktor genetik, radiasi, virus, dan sarkoma sistemik.
Pertumbuhan tumor menyebabkan bertambahnya massa karena tumor akan mendesak ruangan yang relatif tetap dari ruang tengkorak yang kaku dan perubahan sirkulasi CSS, karena penekanan pada otak sehingga menyebabkan penekanan maskularisasi arteri dan vena timbul hipoksia, ischemia, hipoksemia, nekrosis, dan pecahnya pembuluh vena serta arteri. Di otak timbullah peningkatan tekanan intra kranial otak dapat menyebabkan:
a.   Pergeseran kandungan ointra kranial mengstimulasi hipotalamus untuk merangsang nosiseptor, timbullah respon rasa nyeri
b.   Pergeseran sistem batang otak menstimulasi medulla oblongata menyebabkan mual dan muntah.
c.  Penekanan kiasma optikum sehingga menimbulkan papil oedema.
d. Herniasi unkus sehingga girus medialis lobus temporalis bergeser ke inferior menekan mesenchaphalon, hilang kesadaran dari pasien.
Pasien mengalami hemiparesis jika terjadi destruksi syaraf motorik perifer, sel-sel kornu anterior sehingga terjadi paralisis LMN dan UMN, otot flaksid dan reflek tendon menurun yang menyebakan perubahan persepsi sensori. Selain itu kerusakan nervous VII menyebabkan kerusakan pada hemisphere kiri kemudian akan timbul kelemahan pada otot wajah lalu pasien akan mengalami aphasia sehingga mengalami kerusakan komunikasi verbal. Persepsi sensori pengecapan akan mengalami kemunduran sehingga pasien mengalami kesulitan dalam menelan.
Dilatasi sel indolimf pada koklea mengakibatkan atrofi nervous VIII sehingga pasien mengalami vertigo dan perubahan persepsi sensori. Lesi traktus spinotalamikus lateralis kemudian berlanjutkan ke medulla spinalis, sistem kolumna dorsalis, medulla oblongata lalu menuju lemniskus medialis, thalamus, korteks parietalis sehingga menyebabkan stereognosis yang menimbulkan perubahan proses berpikir dan grafestesia yang dapat menimbulkan resiko cidera.



Manifestasi Klinis
a. Nyeri Kepala
Merupakan gejala awal pada 20% penderita dengan tumor otak yang kemudian berkembang menjadi 60%. Nyerinya tumpul dan intermitten. Nyeri kepala berat juga sering diperhebat oleh perubahan posisi, batuk, maneuver valsava dan aktivitas fisik. Muntah ditemukan bersama nyeri kepala pada 50% penderita. Nyeri kepala ipsilateral pada tumor supratentorial sebanyak 80 % dan terutama pada bagian frontal. Tumor pada fossa posterior memberikan nyeri alih ke oksiput dan leher.
b. Perubahan Status Mental
Gangguan konsentrasi, cepat lupa, perubahan kepribadian, perubahan mood dan berkurangnya inisiatif adalah gejala-gejala umum pada penderita dengan tumor lobus frontal atau temporal. Gejala ini bertambah buruk dan jika tidak ditangani dapat menyebabkan terjadinya somnolen hingga koma.
c. Seizure
Adalah gejala utama dari tumor yang perkembangannya lambat seperti astrositoma, oligodendroglioma dan meningioma. Paling sering terjadi pada tumor di lobus frontal baru kemudian tumor pada lobus parietal dan temporal.
d. Edema Papil
Gejala umum yang tidak berlangsung lama pada tumor otak, sebab dengan teknik neuroimaging tumor dapat segera dideteksi. Edema papil pada awalnya tidak menimbulkan gejala hilangnya kemampuan untuk melihat, tetapi edema papil yang berkelanjutan dapat menyebabkan perluasan bintik buta, penyempitan lapangan pandang perifer dan menyebabkan penglihatan kabur yang tidak menetap.



e. Muntah
Muntah sering mengindikasikan tumor yang luas dengan efek dari massa tumor tersebut juga mengindikasikan adanya pergeseran otak. Muntah berulang pada pagi dan malam hari, dimana muntah yang proyektil tanpa didahului mual menambah kecurigaan adanya massa intracranial.
f. Vertigo
Pasien merasakan pusing yang berputar dan mau jatuh

Komplikasi
1.       Edema Serebral
Peningkatan cairan otak yang berlebih yang menumpuk disekitar lesi sehingga menambah efek masa yang mendesak (space-occupying). Edema Serebri dapat terjadi ekstrasel (vasogenik) atau intrasel (sitotoksik)
2.       Hidrosefalus
Peningkatan intracranial yang disebabkan oleh ekspansin massa dalam rongga cranium yang tertutup dapat di eksaserbasi jika terjadi obstruksi pada aliran cairan serebrospinal akibat massa.
3.       Herniasi Otak
4.       Epilepsi
5.      Metastase ketempat lain




Pemeriksaan Diagnostik Tumor Otak
a. CT scan dan MRI
Memperlihatkan semua tumor intrakranial dan menjadi prosedur investigasi awal ketika penderita menunjukkan gejala yang progresif atau tanda-tanda penyakit otak yang difus atau fokal, atau salah satu tanda spesifik dari sindrom atau gejala-gejala tumor. Kadang sulit membedakan tumor dari abses ataupun proses lainnya.
b. Foto polos dada
Dilakukan untuk mengetahui apakah tumornya berasal dari suatu metastasis yang akan memberikan gambaran nodul tunggal ataupun multiple pada otak.
c. Pemeriksaan cairan serebrospinal
Dilakukan untuk melihat adanya sel-sel tumor dan juga marker tumor. Tetapi pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan terutama pada pasien dengan massa di otak yang besar. Umumnya diagnosis histologik ditegakkan melalui pemeriksaan patologi anatomi, sebagai cara yang tepat untuk membedakan tumor dengan proses-proses infeksi (abses cerebri).
d. Biopsi stereotaktik
Dapat digunakan untuk mendiagnosis kedudukan tumor yang dalam dan untuk memberikan dasar-dasar pengobatan dan informasi prognosis.
e. Angiografi Serebral
Memberikan gambaran pembuluh darah serebral dan letak tumor serebral.
f. Elektroensefalogram (EEG)
Mendeteksi gelombang otak abnormalpada daerah yang ditempati tumor dan dapat memungkinkan untuk mengevaluasi lobus temporal pada waktu kejang.


Penatalaksanaan
Faktor -faktor Prognostik sebagai Pertimbangan Penatalaksanaan :
a. Usia
b. General Health
c. Ukuran Tumor
d. Lokasi Tumor
e. Jenis Tumor

Untuk tumor otak ada tiga metode utama yang digunakan dalam penatalaksaannya, yaitu
a. Surgery
Terapi Pre-Surgery :
Steroid : Menghilangkan swelling, contoh dexamethasone
Anticonvulsant : Untuk mencegah dan mengontrol kejang, seperti carbamazepine
Shunt : Digunakan untuk mengalirkan cairan cerebrospinal
Pembedahan merupakan pilihan utama untuk mengangkat tumor. Pembedahan pada tumor otak bertujuan utama untuk melakukan dekompresi dengan cara mereduksi efek massa sebagai upaya menyelamatkan nyawa serta memperoleh efek paliasi. Dengan pengambilan massa tumor sebanyak mungkin diharapkan pula jaringan hipoksik akan terikutserta sehingga akan diperoleh efek radiasi yang optimal. Diperolehnya banyak jaringan tumor akan memudahkan evaluasi histopatologik, sehingga diagnosis patologi anatomi diharapkan akan menjadi lebih sempurna. Namun pada tindakan pengangkatan tumor jarang sekali menghilangkan gejala-gelaja yang ada pada penderita.

b. Radiotherapy
Radioterapi merupakan salah satu modalitas penting dalam penatalaksanaan proses keganasan. Berbagai penelitian klinis telah membuktikan bahwa modalitas terapi pembedahan akan memberikan hasil yang lebih optimal jika diberikan kombinasi terapi dengan kemoterapi dan radioterapi.
Sebagian besar tumor otak bersifat radioresponsif (moderately sensitive), sehingga pada tumor dengan ukuran terbatas pemberian dosis tinggi radiasi diharapkan dapat mengeradikasi semua sel tumor. Namun demikian pemberian dosis ini dibatasi oleh toleransi jaringan sehat disekitarnya. Semakin dikit jaringan sehat yang terkena maka makin tinggi dosis yang diberikan. Guna menyiasati hal ini maka diperlukan metode serta teknik pemberian radiasi dengan tingkat presisi yang tinggi.
Glioma dapat diterapi dengan radioterapi yang diarahkan pada tumor sementara metastasis diterapi dengan radiasi seluruh otak. Radioterapi jyga digunakan dalam tata laksana beberapa tumor jinak, misalnya adenoma hipofisis.
c. Chemotherapy
Pada kemoterapi dapat menggunakan powerfull drugs, bisa menggunakan satu atau dikombinasikan. Tindakan ini dilakukan dengan tujuan untuk membunuh sel tumor pada klien. Diberikan secara oral, IV, atau bisa juga secara shunt. Tindakan ini diberikan dalam siklus, satu siklus terdiri dari treatment intensif dalam waktu yang singkat, diikuti waktu istirahat dan pemulihan. Saat siklus dua sampai empat telah lengkap dilakukan, pasien dianjurkan untuk istirahat dan dilihat apakah tumor berespon terhadap terapi yang dilakukan ataukah tidak.





ASUHAN KEPERAWATAN

PENGKAJIAN
Data Demografi
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan penanggung biaya.

Riwayat Sakit dan Kesehatan
1. Keluhan utama
Biasanya klien mengeluh nyeri kepala
2. Riwayat penyakit saat ini
Klien mengeluh nyeri kepala, muntah, papiledema, penurunan tingkat kesadaran, penurunan penglihatan atau penglihatan double, ketidakmampuan sensasi (parathesia atau anasthesia), hilangnya ketajaman atau diplopia.
3. Riwayat penyakit dahulu
Klien pernah mengalami pembedahan kepala
4. Riwayat penyakit keluarga
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang, yaitu riwayat keluarga dengan tumor kepala.
5. Pengkajian psiko-sosio-spirituab
Perubahan kepribadian dan perilaku klien, perubahan mental, kesulitan mengambil keputusan, kecemasan dan ketakutan hospitalisasi, diagnostic test dan prosedur pembedahan, adanya perubahan peran.

Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System )
Pemeriksaan fisik pada klien dengan tomor otak meliputi pemeriksaan fisik umum per system dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1 (breathing), B2 (Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone).
1. Pernafasan B1 (breath)
a. Bentuk dada : normal
b. Pola napas : tidak teratur
c. Suara napas : normal
d. Sesak napas : ya
e. Batuk : tidak
f. Retraksi otot bantu napas ; ya
g. Alat bantu pernapasan : ya (O2 2 lpm)
2. Kardiovaskular B2 (blood)
a. Irama jantung : irregular
b. Nyeri dada : tidak
c. Bunyi jantung ; normal
d. Akral : hangat
e. Nadi : Bradikardi
f. Tekanana darah Meningkat
3. Persyarafan B3 (brain)
a. Penglihatan (mata) : penurunan penglihatan, hilangnya ketajaman atau diplopia.
b. Pendengaran (telinga) : terganggu bila mengenai lobus temporal
c. Penciuman (hidung) : mengeluh bau yang tidak biasanya, pada lobus frontal
d. Pengecapan (lidah) :ketidakmampuan sensasi (parathesia atau anasthesia)
e. Afasia :kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan ekspresif atau kesulitan berkata-kata, reseotif atau berkata-kata komprehensif, maupun kombinasi dari keduanya.
f. Ekstremitas :kelemahan atau paraliysis genggaman tangan tidak seimbang, berkurangnya reflex tendon.
g. GCS : Skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.
Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang angka 1- 6 tergantung responnya yaitu :
Eye (respon membuka mata)
(4) : Spontan
(3) : Dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : Dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari)
(1) : Tidak ada respon

Verbal (respon verbal)
(5) : Orientasi baik
(4) : Bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi tempat dan waktu.
(3) : Kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)
(2) : Suara tanpa arti (mengerang)
(1) : Tidak ada respon

Motor (respon motorik)
(6) : Mengikuti perintah
(5) : Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri)
(4) : Withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri)
(3) : Flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(2) : Extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(1) : Tidak ada respon

4. Perkemihan B4 (bladder)
a. Kebersihan : bersih
b. Bentuk alat kelamin : normal
c. Uretra : normal
d. Produksi urin: normal
5. Pencernaan B5 (bowel)
a. Nafsu makan : menurun
b. Porsi makan : setengah
c. Mulut : bersih
d. Mukosa : lembap
6. Muskuloskeletal/integument B6 (bone)
a. Kemampuan pergerakan sendi : bebas
b. Kondisi tubuh: kelelahan

Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial, pembedahan tumor, edema serebri.
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penekanan medula oblongata.
3. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.
4. Resiko cedera berhubungan dengan vertigo sekunder terhadap hipotensi ortostatik
5. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan efek afasia pada ekspresi atau interpretasi.
6. Perubahan persepsi sensori perseptual berhubungan dengan kerusakan traktus sensori dengan perubahan resepsi sensori, transmisi, dan integrasi
7. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan efek kemoterapi dan radioterapi

Intervensi
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial, pembedahan tumor, edema serebri.
Tujuan : Perfusi jaringan membaik ditandai dengan tanda-tanda vital stabil.
Kriteria hasil :
a. Tekanan perfusi serebral >60mmHg, tekanan intrakranial <15mmHg, tekanan arteri rata-rata 80-100mmHg
b. Menunjukkan tingkat kesadaran normal
c. Orientasi pasien baik
d. RR 16-20x/menit
e. Nyeri kepala berkurang atau tidak terjadi

Intervensi Rasional
1. Monitor secara berkala tanda dan gejala peningkatan TIK
- Kaji perubahan tingkat kesadaran, orientasi, memori, periksa nilai GCS
- Kaji tanda vital dan bandingkan dengan keadaan sebelumnya
- Kaji fungsi autonom: jumlah dan pola pernapasan, ukuran dan reaksi pupil, pergerakan otot
- Kaji adanya nyeri kepala, mual, muntah, papila edema, diplopia kejang
2. Ukur, cegah, dan turunkan TIK
- Pertahankan posisi dengan meninggikan bagian kepala 15-300, hindari posisi telungkup atau fleksi tungkai secara berlebihan
- Monitor analisa gas darah, pertahankan PaCO2 35-45 mmHg, PaO2 >80mmHg
- Kolaborasi dalam pemberian oksigen
3. Hindari faktor yang dapat meningkatkan TIK
- Istirahatkan pasien, hindari tindakan keperawatan yang dapat mengganggu tidur pasien
- Berikan sedative atau analgetik dengan kolaboratif.
- Mengetahui fungsi retikuler aktivasi sistem dalam batang otak, tingkat kesadaran memberikan gambaran adanya perubahan TIK
- Mengetahui keadaan umum pasien, karena pada stadium awal tanda vital tidak berkolerasi langsung dengan kemunduran status neurologi
- Respon pupil dapat melihat keutuhan fungsi batang otak dan pons
- Merupakan tanda peningkatan TIK
- Peninggian bagian kepala akan mempercepat aliran darah balik dari otak, posisi fleksi tungkai akan meninggikan tekanan intraabomen atau intratorakal yang akan mempengaruhi aliran darah balik dari otak
- Menurunnya CO2 menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
- Memenuhi kebutuhan oksigen
- Keadaan istirahat mengurangi kebutuhan oksigen
- Mengurangi peningkatan TIK

2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan denga penekanan medula oblongata.
Tujuan :
Kriteria Hasil :
3. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan : Nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi oleh klien
Kriteria hasil :
a. Klien mengungkapkan nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi
b. Klien tidak merasa kesakitan
Intervensi Rasional
1. Teliti keluhan nyeri: intensitas, karakteristik, lokasi, lamanya, faktor yang memperburuk dan meredakan.
2. Instruksikan pasien/keluarga untuk melaporkan nyeri dengan segera jika nyeri timbul.
3. Berikan kompres dingin pada kepala.
4. Mengajarkan tehnik relaksasi dan metode distraksi
5. Kolaborasi analgesic
6. Observasi adanya tanda-tanda nyeri non verbal seperti ekspresi wajah, gelisah, menangis/meringis, perubahan tanda vital.
Rasional :
1. Nyeri merupakan pengalaman subjektif dan harus dijelaskan oleh pasien. Identifikasi karakteristik nyeri dan faktor yang berhubungan merupakan suatu hal yang amat penting untuk memilih intervensi yang cocok dan untuk mengevaluasi keefektifan dari terapi yang diberikan.
2. Pengenalan segera meningkatkan intervensi dini dan dapat mengurangi beratnya serangan.
3. Meningkatkan rasa nyaman dengan menurunkan vasodilatasi.
4. Akan melancarkan peredaran darah, dan dapat mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan
5. Analgesik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri berkurang
6. Merupakan indikator/derajat nyeri yang tidak langsung yang dialami.

4. Resiko cedera berhubungan dengan vertigo sekunder terhadap hipotensi ortostatik.
Tujuan : Diagnosa tidak menjadi masalah aktual
Kriteria hasil :
a. Pasien dapat mengidentifikasikan kondisi-kondisi yang menyebabkan vertigo
b. Pasien dapat menjelaskan metode pencegahan penurunan aliran darah di otak tiba-tiba yang berhubungan dengan ortostatik.
c. Pasien dapat melaksanakan gerakan mengubah posisi dan mencegah drop tekanan di otak yang tiba-tiba.
d. Menjelaskan beberapa episode vertigo atau pusing.

Intervensi Rasional
1. Kaji tekanan darah pasien saat pasien mengadakan perubahan posisi tubuh.

2. Diskusikan dengan klien tentang fisiologi hipotensi ortostatik.

3. Ajarkan teknik-teknik untuk mengurangi hipotensi ortostatik 1. Untuk mengetahui pasien mengakami hipotensi ortostatik ataukah tidak.
2. Untuk menambah pengetahuan klien tentang hipotensi ortostatik.

3. Melatih kemampuan klien dan memberikan rasa nyaman ketika mengalami hipotensi ortostatik.

5. Kerusakan komunikasi verbal b.d efek afasia pada ekspresi atau intepretasi.
Tujuan : Tidak mengalami kerusakan komunikasi verbal dan menunjukkan kemampuan komunikasi verbal dengan orang lain dengan cara yang dapat di terima.
Kriteria Hasil :
a. Pasien dapat mengidentifikasi pemahaman tentang masalah komunikasi.
b. Pasien dapat membuat metode komunikasi dimana kebutuhan dapat diekspresikan
c. Pasien dapat menggunakan sumber-sumber dengan tepat

Intervensi Rasional
1. Perhatikan kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik.

2. Minta pasien untuk menulis nama atau kalimat yang pendek. Jika tidak dapat menulis, mintalah pasien untuk membaca kalimat yang pendek.

3. Berika metode komunikasi alternative, seperti menulis di papan tulis, gambar. Berikan petunjuk visual (gerakan tangan, gambar-gambar, daftar kebutuhan, demonstrasi).

4. Katakan secara langsung dengan pasien, bicara perlahan, dan dengan tenang. Gunakan pertanyaan terbuka dengan jawaban “ya/tidak” selanjutnya kembangkan pada pertanyaan yang lebih komplek sesuai dengan respon pasien. 1. Pasien mungkin kehilangan kemampuan untuk memantau ucapan yang keluar dan tidak menyadari bahwa komunikasi yang diucapkannya tidak nyata.

2. Menilai kemampuan menulis dan kekurangan dalam membaca yang benar yang juga merupakan bagian dari afasia sensorik dan afasia motorik.

3. Memberikan komunikasi tentang kebutuhan berdasarkan keadaan/ deficit yang mendasarinya.

4. Menurunkan kebingungan/ansietas selama proses komunikasi dan berespons pada informasi yang lebih banyak pada satu waktu tertentu.

6. Perubahan persepsi sensori perseptual berhubungan dengan kerusakan traktus sensori dengan perubahan resepsi sensori, transmisi, dan integrasi.
Tujuan : Pasien mampu menetapkan dan menguji realitas serta menyingkirkan kesalahan persepsi sensori.
Kriteria hasil :
a. Pasien dapat mengenali kerusakan sensori
b. Pasien dapat mengidentifikasi prilaku yang dapat mengkompensasi kekurangan
c. Pasien dapat mengungkapkan kesadaran tentang kebutuhan sensori dan potensial terhadap penyimpangan.
Intervensi Rasional
1. Bantu pasien mengenali dan mengkompensasi perubahan sensasi.

2. Berikan rangsang taktil, sentuh pasien pada area dengan sensori utuh, missal : bahu, wajah, kepala.

3. Berikan tidur tanpa gangguan dan periode istirahat.

4. Pertahankan adanya respons emosional berlebihan, perubahan proses berpikir, misal : disorientasi, berpikir kacau. 1. Dapat membantu menurunkan ansietas tentang ketidaktahuan dan mencegah cedera.
2. Menyentuh menyampaikan perhatian dan memenuhi kenutuhan fisiologis dan psikologis normal.

3. Menurunkan kelebihan beban sensori, meningkatkan orientasi dan kemampuan koping, dan membantu dalam menciptakan kembali pola tidur alamiah.
4. Indikasi kerusakan traktus sensori dan stress psikologis, memerlukan pengkajian dan intervensi lebih lanjut.

7. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan efek kemoterapi dan radioterapi.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi klien dapat terpenuhi dengan adekuat
Kriteria hasil :
a. Antropometri: berat badan tidak turun (stabil)
b. Biokimia: albumin normal dewasa (3,5-5,0) g/dl
Hb normal (laki-laki 13,5-18 g/dl, perempuan 12-16 g/dl)
c. Clinis: tidak tampak kurus, terdapat lipatan lemak, rambut tidak jarang dan merah
d. Diet: klien menghabiskan porsi makannya dan nafsu makan bertambah
Intervensi Rasional
1. Kaji tanda dan gejala kekurangan nutrisi: penurunan berat badan, tanda-tanda anemia, tanda vital

2. Monitor intake nutrisi pasien

3. Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering.

4. Timbang berat badan 3 hari sekali

5. Monitor hasil laboratorium: Hb, albumin
6. Kolaborasi dalam pemberian obat antiemetik
1. Menentukan adanya kekurangan nutrisi pasien

2. Salah satu efek kemoterapi dan radioterapi adalah tidak nafsu makan

3. Mengurangi mual dan terpenuhinya kebutuhan nutrisi.

4. Berat badan salah satu indikator kebutuhan nutrisi.

5. Menentukan status nutrisi

6. Mengurangi mual dan muntah untuk meningkatkan intake makanan

Rabu, 01 Desember 2010

ASKEP CRADLE CUP

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
CRADLE CUP ( PENYAKIT KULIT SEBOROIK)





Disusun oleh :

Kelompok V

amril idris

B2 002 08 029
Keperawatan Reguler XA






DEPARTEMEN KESEHATAN R.I
STIKES BARAMULI PINRANG
JURUSAN KEPERAWATAN
2009










ASUHAN KEPERAWATAN
CRADLE CUP ( PENYAKIT KULIT SEBOROIK)


I. Konsep Dasar
A. Pengertian

Cradle cap (penyakit kulit seboroik/dermatitis seboroik) adalah scaling berwarna merah dan kuning, ruam berkulit keras yang terjadi pada kepala bayi dan kadangkala pada lipatan kulit.
Dermatitis seboroik adalah dermatosis papuloskuamosa kronik yang bisanya mudah ditemukan. Penyakit ini dapat menyerang anak-anak maupun dewasa.
Dermatitis seboroik (DS) atau Seborrheic eczema merupakan penyakit yang umum, kronik, dan merupakan inflamasi superfisial dari kulit, ditandai oleh pruritus, berminyak, bercak merah dengan berbagai ukuran dan bentuk yang menutup daerah inflamasi pada kulit kepala, muka, dan telinga. Daerah lain yang jarang terkena, seperti daerah presternal dada. Beberapa tahun ini telah didapatkan data bahwa sekurang–kurangnya 50% pasien HIV terkena dematitis seboroik. Ketombe berhubungan juga dermatitis seboroik, tetapi tidak separah dermatitis seboroik. Ada juga yang menganggap dermatitis seboroik sama dengan ketombe
Dermatitis seboroik adalah dermatosis papuloskuamosa kronik yang biasanya mudah ditemukan pada tempat-tempat seboroik. Penyakit ini dapat menyerang anak-anak paling sering pada usia di bawah 6 bulan maupun dewasa. Cradle cap dikaitkan dengan peningkatan produksi sebum pada kulit kepala dan folikel sebasea terutama pada daerah wajah dan badan. Jamur Pityrosporum ovale kemungkinan merupakan faktor penyebab. Banyak percobaan telah dilakukan untuk menghubungkan penyakit ini dengan mikroorganisme tersebut yang juga merupakan flora normal kulit manusia. Pertumbuhan P. Ovale yang berlebihan dapat mengakibatkan reaksi inflamasi, baik akibat produk metaboliknya yang masuk ke dalam epidermis maupun karena jamur itu sendiri melalui aktivasi sel limfosit T dan sel Langerhans. Akan tetapi, faktor genetik dan lingkungan diperkirakan juga dapat mempengaruhi onset dan derajat penyakit.

B. Epidemiologi

Dermatitis seboroik menyerang 2% - 5% populasi. Dermatitis seboroik dapat menyerang bayi pada tiga bulan pertama kehidupan dan pada dewasa pada umur 30 hingga 60 tahun. Insiden memuncak pada umur 18–40 tahun. DS lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Berdasarkan pada suatu survey pada 1.116 anak–anak, dari perbandingan usia dan jenis kelamin, didapatkan prevalensi dermatitis seboroik menyerang 10% anak laki–laki dan 9,5% pada anak perempuan. Prevalensi semakin berkurang pada setahun berikutnya dan sedikit menurun apabila umur lebih dari 4 tahun. Kebanyakan pasien (72%) terserang minimal atau dermatitis seboroik ringan.
Pada penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome), dapat terlihat pada hampir 35% pasien Terdapat peningkatan insiden pada penyakit Parkinson, paralisis fasial, pityriasis versicolor, cedera spinal, depresi dan yang menerima terapi psoralen ditambah ultraviolet A (PUVA). Juga beberapa obat–obatan neuroleptik mungkin merupakan faktor, kejadian ini sering terjadi tetapi masih belum dibuktikan. Kondisi kronik lebih sering terjadi dan sering lebih parah pada musim dingin yang lembab dibandingkan pada musim panas.

C. Etiopatogenesis

Etiologi dari penyakit ini belum terpecahkan. Faktor predisposisinya adalah kelainan konstitusi berupa status seboroik (seborrhoic state) yang rupanya diturunkan, bagaimana caranya belum dipastikan. Ini merupakan dermatitis yang menyerang daerah–daerah yang mengandung banyak glandula sebasea, bagaimanapun bukti terbaru menyebutkan bahwa hipersekresi dari sebum tidak nampak pada pasien yang terkena dermatitis seboroik apabila dibandingkan dengan kelompok sehat. Pengaruh hormonal seharusnya dipertimbangkan mengingat penyakit ini jarang terlihat sebelum puberitas. Ada bukti yang menyebutkan bahwa terjadi status hiperproliferasi, tetapi penyebabnya belum diketahui.
Penelitian–penelitian melaporkan adanya suatu jamur lipofilik, pleomorfik, Malasssezia ovalis (Pityrosporum ovale), pada beberapa pasien dengan lesi pada kulit kepala. P. ovale dapat didapatkan pada kulit kepala yang normal. Ragi dari genus ini menonjol dan dapat ditemukan pada daerah seboroik pada tubuh yang kaya akan lipid sebasea, misalnya kepala dan punggung. Pertumbuhan P. ovale yang berlebihan dapat mengakibatkan reaksi inflamasi, baik akibat produk metabolitnya yang masuk ke dalam epidermis maupun karena sel jamur itu sendiri melalui aktivasi sel limfosit T dan sel Langerhans. Hubungan yang erat terlihat karena kemampuan untuk mengisolasi Malassezia pada pasien dengan DS dan terapinya yang berefek bagus dengan pemberian anti jamur.
Bagaimanapun, beberapa faktor (misalnya tingkat hormon, infeksi jamur, defisit nutrisi, dan faktor neurogenik) berhubungan dengan keadaan ini. Adanya masalah hormonal mungkin dapat menjelaskan mengapa keadaan ini muncul pada bayi, hilang secara spontan, dan muncul kembali setelah puberitas. Pada bayi dijumpai hormon transplasenta meninggi beberapa bulan setelah lahir dan penyakitnya akan membaik bila kadar hormon ini menurun. Juga didapati bahwa perbandingan komposisi lipid di kulit berubah. Jumlah kolesterol, trigliserida, parafin meningkat dan kadar sequelen, asam lemak bebas dan wax ester menurun. Keadaan ini diperparah dengan peningkatan keringat. Stres emosional memberikan pengaruh yang jelek pada masa pengobatan. Obat–obat neuroleptik seperti haloperidol dapat mencetuskan dermatitis seboroik serta faktor iklim. Lesi seperti DS dapat nampak pada pasien defesiensi nutrisi, contohnya defesiensi besi, defesiensi niasin, dan pada penyakit Parkinson. DS juga terjadi pada defesiensi pyridoxine.

D. Gejala Klinis

Dermatitis seboroik adalah suatu penyakit dengan gambaran berbagai variasi klinis. Secara garis besar gejala klinis DS bisa terjadi pada bayi dan orang dewasa. Pada bayi ada 3 bentuk, yaitu cradle cap, glabrous (daerah lipatan dan tengkuk) dan generalisata (penyakit Leiner) yang terbagi menjadi familial dan non-familial. Sedangkan pada orang dewasa, berdasarkan daerah lesinya DS terjadi pada kulit kepala (pitiriasis sika dan inflamasi), wajah (blefaritis marginal, konjungtivitis, pada daerah lipatan nasolabial, area jenggot, dahi, alis), daerah fleksura (aksilla, infra mamma, umbilicus, intergluteal, paha), badan (petaloid, pitiriasiform) dan generalisata (eritroderma, eritroderma eksoliatif). Distribusinya biasanya bilateral dan simetris berupa bercak ataupun plakat dengan batas yang tidak jelas, eritema ringan dan sedang, skuama berminyak dan kekuningan.

Pada Bayi :
Selama bayi, ada tiga bentuk khas yang terjadi, yaitu :
1. Secara klinis, cradle cap muncul pada minggu ketiga sampai minggu keempat dua gambarannya berupa eritema dengan skuama seperti lilin pada kulit kepala. Bagian frontal dan parietal berminyak dan sering menjadi krusta yang menebal tanpa eritema. Skuama dengan mudah dapat dihilangkan dengan sering menggunakan sampo yang mengandung sulfur, asam salisil, atau keduanya (misalnya sampo Sebulex atau sampo T-gel).
2. Dermatitis seboroik pada bayi dapat meluas ke wajah, badan, diaper area dan daerah fleksura.
3. Yang jarang adalah bentuk generalisata yang dikenal dengan nama penyakit Leiner atau eritroderma desquativum. Penyakit ini ada dua bentuk, familial dan non-familial.

Pada Dewasa:
Dermatitis seboroik pada orang dewasa juga memberikan gambaran yang berminyak dengan eritema, krusta, dan skuama, dan meliputi kulit kepala, wajah, aurikularis, daerah fleksura, dan badan.
1. Pada kulit kepala, merupakan tempat tersering dijumpai skuama yang berminyak dengan warna kekuningan sehingga rambut saling lengket dan kadang–kadang dijumpai krusta (Pityriasis steatoides), dandruff/ Pitiriasis sika (skuama kering dan berlapis–lapis dan sering lepas sendiri) adalah manifestasi awal DS pada umumnya. Diawali dengan noda kecil dan secara cepat menyerang kulit kepala. Tahap berikutnya eritema perifolikuler dan skuama yang meluas menjadi bercak yang berbatas tegas dan diskret atau meliputi sebagian besar kulit kepala dan di luar batas tumbuh rambut pada bagian frontal kepala (disebut korona seboroik). Jenis seboroik ini menyebabkan rambut rontok, sehingga terjadi alopesia dan rasa gatal.
2. Pada daerah wajah, skuama berlapis dapat dilihat bercak skuama yang kuning. Kelopak mata eritema dan granular (blefaritis marginal) yang sering dijumpai pada wanita dan kadang–kadang injeksi konjungtiva. Kelopak mata daerah kekuningan, skuama halus, batasnya tidak jelas, dan kadang–kadang disertai rasa gatal. Jika menyerang glabella, terdapat kulit yang pecah dan bagian tengahnya mengerut disertai skuama halus dengan dasar yang eritema. Pada lipatan nasolabial dan alae nasi terdapat skuama kekuningan dan kadang–kadang disertai fissure. Pada laki–laki, folikulitis dapat terjadi pada kelopak mata bagian atas. Hal ini sering dijumpai pada laki–laki yang sering mencukur janggut dan kumisnya. Seboroik muka di daerah jenggot disebut sikosis barbe.
3. Pada daerah badan yang mengenai daerah preseternal, interskapula, ketiak, inframamma, umbilicus, krural (lipatan paha, perineum, dan nates) beberapa bentuk DS dapat terjadi, yang paling sering adalah bentuk petaloid dan sering terlihat pada dada bagian depan dan daerah interskapular. Lesi awal kecil, papul folikular yang berwarna merah kecoklatan ditutupi dengan skuama yang berminyak, tapi lesi yang lebih sering adalah papul folikular dan bercak multipel dengan skuama halus di tengah dan skuama berminyak serta papul merah gelap di bagian pinggir. Pada badan, bentuk lainnya adalah pitiriasiform yang terdiri dari papulosquamous oval, disertai pitiriasis rosea.
4. Bentuk yang terakhir adalah generalisata, yaitu eritroderma dan eritroderma eksfoliatif


E. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pasien dermatitis seboroik adalah pemeriksaan histopatologi walaupun gambarannya kadang juga ditemukan pada penyakit lain, seperti pada dermatitis atopik atau psoriasis. Gambaran histopatologi tergantung dari stadium penyakit. Pada bagian epidermis. Dijumpai parakeratosis dan akantosis. Pada korium, dijumpai pembuluh darah melebar dan sebukan perivaskuler. Pada DS akut dan subakut, epidermisnya ekonthoik, terdapat infiltrat limfosit dan histiosit dalam jumlah sedikit pada perivaskuler superfisial, spongiosis ringan hingga sedang, hiperplasia psoriasiform ringan, ortokeratosis dan parakeratosis yang menyumbat folikuler, serta adanya skuama dan krusta yang mengandung netrofil pada ostium folikuler. Gambaran ini merupakan gambaran yang khas. Pada dermis bagian atas, dijumpai sebukan ringan limfohistiosit perivaskular. Pada DS kronik, terjadi dilatasi kapiler dan vena pada pleksus superfisial selain dari gambaran yang telah disebutkan di atas yang hamper sama dengan gambaran psoriasis.


F. Pengobatan

Secara umum, terapi bertujuan untuk menghilangkan sisik dengan keratolitik dan sampo, menghambat pertumbuhan jamur dengan pengobatan anti jamur, mengendalikan infeksi sekunder dan mengurangi eritema dan gatal dengan steroid topikal. Pasien harus diberitahu bahwa penyakit ini berlangsung kronik dan sering kambuh. Harus dihindari faktor pencetus, seperti stres emosional, makanan berlemak, dan sebagainya.


1. Pengobatan topikal
Pengobatan topikal dapat mengontrol dermatitis seboroik dan dandruff kronik pada stadium awal. Terapi yang dapat digunakan, contohnya fluocinolone, topikal steroid solution. Pada orang dewasa dengan DS dalam keadaan tertentu menggunakan steroid topikal satu atau dua kali seminggu, di samping penggunaan sampo yang mengandung sulfur atau asam salisil dan selenium sulfide 2%, 2 – 3 kali seminggu selama 5 – 10 menit. Atau dapat diberikan sampo yang mengandung sulfur, asam salisil, zing pirition 1 – 2 %. Steroid topikal potensi rendah dapat efektif mengobati DS pada bayi dan dewasa pada daerah fleksura maupun DS recalcitrant persistent pada dewasa. Topikal golongan azol dapat dikombinasikan dengan regimen desonide (satu dosis per hari selama dua minggu) untuk terapi pada wajah. Dapat juga diberikan salap yang mengandung asam salisil 2%, sulfur 4% dan ter 2%. Pada bayi dapat diberikan asam salisil 3% - 5% dalam minyak mineral.
2. Sistemik
Dapat diberikan anti histamin ataupun sedatif. Pemberian dosis rendah dari terapi oral bromida dapat membantu penyembuhan. Terapi oral yang menggunakan dosis rendah dari preparat hemopoetik yang mengandung potasium bromida, sodium bromida, nikel sulfat dan sodium klorida dapat memberikan perubahan yang berarti dalam penyembuhan DS dan dandruff setelah penggunaan setelah 10 minggu. Pada keadaan yang berat dapat diberikan kortikosteroid sistemik, dosis prednisolon 20 – 30 mg sehari, jika ada perbaikan, dosis diturunkan perlahan. Kalau ada infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik.
3. Obat Alternatif
Terapi alami saat ini menjadi semakin populer. Tea tree oil (Melaleuca oil) adalah minyak esensial yang berasal dari Australia. Terapi ini dapat efektif bila digunakan setip hari dalam bentuk sampo 5 %.

G. Prognosis

Dermatitis seboroik dapat sembuh sendiri dan merespon pengobatan topikal dengan baik. Namun pada sebagian kasus yang mempunyai faktor konstitusi, penyakit ini agak sukar untuk disembuhkan, meskipun terkontrol.








II. ASUHAN KEPERAWATAN
A.Pengkajian

a. Identitas Pasien.
b. Keluhan Utama.
Biasanya pasien mengeluh gatal, rambut rontok.
c. Riwayat Kesehatan.
1. Riwayat Penyakit Sekarang :
Tanyakan sejak kapan pasien merasakan keluhan seperti yang ada pada keluhan utama dan tindakan apa saja yang dilakukan pasien untuk menanggulanginya.
2. Riwayat Penyakit Dahulu :
Apakah pasien dulu pernah menderita penyakit seperti ini atau penyakit kulit lainnya.
3. Riwayat Penyakit Keluarga :
Apakah ada keluarga yang pernah menderita penyakit seperti ini atau penyakit kulit lainnya.
4. Riwayat Psikososial :
Apakah pasien merasakan kecemasan yang berlebihan. Apakah sedang mengalami stress yang berkepanjangan.
5. Riwayat Pemakaian Obat :
Apakah pasien pernah menggunakan obat-obatan yang dipakai pada kulit, atau pernahkah pasien tidak tahan (alergi) terhadap sesuatu obat.

B. Pemeriksaan Fisik

a. Subjektif : Gatal
b. Objektif :
- Skuama kering, basah atau kasar.
- Krusta kekuningan dengan bentuk dan besar bervariasi.
( Yang sering ditemui pada kulit kepala, alis, daerah nasolabial belakang telinga, lipatan mammae, presternal, ketiak, umbilikus, lipat bokong, lipat paha dan skrotum ).
- Kerontokan rambut.


C. Diagnosa Keperawatanm Dan Intervensi

1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan Inflamasi dermatitis, ditandai dengan :
Adanya skuama kering, basah atau kasar.
Adanya krusta kekuningan dengan bentuk dan besar bervariasi.

Intervensi :
- Kaji / catat ukuran dari krusta, bentuk dan warnanya, perhatikan apakah skuama kering, basah atau
kasar.
- Anjurkan klien untuk tidak menggaruk daerah yang terasa gatal.
- Kolaborasi dalam pemberian pengobatan :
- Sistemik: Antihistamin, Kortikosteroid.
- Lokal: Preparat Sulfur, Tar, Kortikosteroid, Shampo (Selenium Sulfida)

2. Ansietas berhubungan dengan ancaman integritas biologis aktual atau yang dirasa sekunder akibat penyakit, ditandai dengan :
(Kemungkinan yang terjadi)
- Insomnia
- Keletihan dan kelemahan
- Gelisah
- Anoreksia
- Ketakutan
- Kurang percaya diri
- Merasa dikucilkan
- Menangis

Intervensi :
a. Kaji tingkat ansietas: ringan, sedang, berat, panik.
b. Berikan kenyamanan dan ketentraman hati :
- Tinggal bersama pasien.
- Tekankan bahwa semua orang merasakan cemas dari waktu ke waktu.
- Bicara dengan perlahan dan tenang, gunakan kalimat pendek dan sederhana.
- Perlihatkan rasa empati.
- Singkirkan stimulasi yang berlebihan (ruangan lebih tenang), batasi kontak dengan orang lain – klien atau keluaraga yang juga mengalami cemas.
c. Anjurkan intervensi yang menurunkan ansietas (misal : teknik relaksasi, imajinasi terbimbing, terapi aroma).
d. Identifikasi mekanisme koping yang pernah digunakan untuk mengatasi stress yang lalu.

3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dalam penampilan sekunder akibat penyakit, ditandai dengan :
- Klien mungkin merasa malu.
- Tidak melihat / menyentuh bagian tubuh yang terganggu.
- Menyembunyikan bagian tubuh secara berlebihan.
- Perubahan dalam keterlibatan sosial.
Intervensi :
Dorong klien untuk mengekspresikan perasaannya
DAFTAR PUSTAKA


Sularsito, Dr. Sri Adi, Et all. 1986. Dermatologi Praktis. Edisi I. Penerbit: Perkumpulan Ahli Dermato-Venereologi Indonesia, Jakarta

Doenges, Marilynn E, et all. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Penerbit: EGC, Jakarta.
www.google.com

Rabu, 03 November 2010

askep

ASKEP STRAIN
A. Pengertian
a. Strain adalah “tarikan otot” akibat penggunaan berlebihan,peregangan berlebihan,atau stress yang berlebihan.
b. Strain adalah robekan mikroskopis tidak komplit dengan perdarahan ke dalam jaringan.(Smeltzer Suzame, KMB Brunner dan Suddarth)
c. Strain adalah bentuk cidera berupa penguluran atau kerobekan pada struktur muskulotendinous (otot atau tendon).
Strain akut pada struktur muskulotendious terjadi pada persambungan antara otot dan tendon. Tipe cedera ini sering terlihat pada pelari yang mengalami strain pada hamstringnya. Beberapa kali cedera terjadi secara mendadak ketika pelari dalam melangkahi penuh
B. Etiologi
Pada strain akut :
a. Ketika otot keluar dan berkontraksi secara mendadak
Pada strain kronis :
b. Terjadi secara berkala oleh karena penggunaaan yang berlebihan/tekanan berulang-ulang,menghasilkan tendonitis (peradangan pada tendon).
C. Patofiologi
Strain adalah kerusakan pada jaringan otot karena trauma langsung (impact) atau tidak langsung (overloading). Cedera ini terjadi akibat otot tertarik pada arah yang salah,kontraksi otot yang berlebihan atau ketika terjadi kontraksi ,otot belum siap,terjadi pada bagian groin muscles (otot pada kunci paha),hamstring (otot paha bagian bawah),dan otot guadriceps. Fleksibilitas otot yang baik bisa menghindarkan daerah sekitar cedera memar dan membengkak.

D. Klasifikasi Strain
 Derajat I/Mild Strain (Ringan)
Yaitu adanya cidera akibat penggunaan yang berlebihan pada penguluran unit muskulotendinous yang ringan berupa stretching/kerobekan ringan pada otot/ligament.
• Gejala yang timbul :
a) Nyeri local
b) Meningkat apabila bergerak/bila ada beban pada otot
Tanda-tandanya :
Adanya spasme otot ringan
 Bengkak
 Gangguan kekuatan otot
 Fungsi yang sangat ringan
 Komplikasi
 Strain dapat berulang
 Tendonitis
 Perioritis
• Perubahan patologi
 Adanya inflasi ringan dan mengganggu jaringan otot dan tendon namun tanda perdarahan yang besar.
• Terapi
 Biasanya sembuh dengan cepat dan pemberian istirahat,kompresi dan elevasi,terapi latihan yang dapat membantu mengembalikan kekuatan otot.
 Derajat II/Medorate Strain (Ringan)
Yaitu adanya cidera pada unit muskulotendinous akibat kontraksi/pengukur yang berlebihan.
• Gejala yang timbul
 Nyeri local
 Meningkat apabila bergerak/apabila ada tekanan otot
 Spasme otot sedang
 Bengkak
 Tenderness
 Gangguan kekuatan otot dan fungsi sedang

• Komplikasi sama seperti pada derajat I :
 Strain dapat berulang
 Tendonitis
 Perioritis

• Terapi :
 Impobilisasi pada daerah cidera
 Istirahat
 Kompresi
 Elevasi
• Perubahan patologi :
 Adanya robekan serabut otot
 Derajat III/Strain Severe (Berat)
Yaitu adanya tekanan/penguluran mendadak yang cukup berat. Berupa robekan penuh pada otot dan ligament yang menghasilkan ketidakstabilan sendi.
• Gejala :
 Nyeri yang berat
 Adanya stabilitas
 Spasme
 Kuat
 Bengkak
 Tenderness
 Gangguan fungsi otot
• Komplikasi ;
 Distabilitas yang sama
• Perubahan patologi :
 Adanya robekan/tendon dengan terpisahnya otot dengan tendon.
• Terapi :
 Imobilisasi dengan kemungkinan pembedahan untuk mengembalikan fungsinya.
E. Manifestasi klinis
• Nyeri mendadak
• Edema
• Spasme otot
• Haematoma
F. Komplikasi
• Strain yang berulang
• Tendonitis
G. Penatalaksanaan
• Istirahat Akan mencegah cidera tambah dan mempercepat penyembuhan
• Meninggikan bagian yang sakit,tujuannya peninggian akan mengontrol pembengkakan.
• Pemberian kompres dingin
Kompres dingin basah atau kering diberikan secara intermioten 20-48 jam pertama yang akan mengurangi perdarahan edema dan ketidaknyamanan.
H. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
• Kajian nyeri
 Apa yang dilakukan pasien sebelum dirasakan nyeri?
 Apakah nyeri terlokalisasi?
 Bagaimana pasien menjelaskan nyeri?
 Apakah nyeri menjalar?
• Inpeksi umumnya untuk mengetahui perkembangan edema,memantau luka dikulit.
• Palpasi sendi untuk mengetahui sensitifitas dan perkembangan jaringan lunak yang banyak teraba keras
• Observasi tingkat keterbatasan mobilitas sendi yang terserang


B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

I. Diagnosa I
Nyeri b/d spasme otot
• Intervensi
 Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring/istirahat
 Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena
 Dorong pasien mendiskusikan masalah sehubungan dengan cidera
 Lakukan dan awasi latihan rentang gerak pasif/aktif
 Berikan alternative tindakan menyamankan seperti pijatan
 Selidiki adanya keluhan nyeri yang tak biasa/tiba-tiba/mendadak
II. Diagnosa II
Kerusakan mobilitas fisik b/d nyeri
• Intervensi
 Anjurkan untuk istirahat selama masih mengalami nyeri
 Anjurkan untuk membatasi aktivitas yang berlebihan,seperti mengangkat beban yang berat
 Bantu pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari
III. Diagnosa III
Kerusakan intregitas jaringan b/d adanya cedera
• Intervensi
 Awasi adanya edema dan perdarahan pada area yang luka
 Berikan perawatan luka
 Perhatikan peningkatan atau berlanjutnya nyeri




DAFTAR PUSTAKA
 Smelzer,Suzanne.C,2001.buku ajar keperawatan medikal bedah brunner dan suddarth.Ed 8.Jakarta;EGC
 Doenges,Marlyn.E.1999.rencana asuhan keperawatan.Ed 3.Jakarta;EGC
 www.arifsugiri.blogspot.com

Senin, 01 November 2010

Askep Strain Dan Sprain


ASKEP STRAIN DAN SPRAIN

 

STRAIN ( KRAM )

A.    PENGERTIAN.
Adalah tarikan pada otot, ligament atau tendon yang disebabkan oleh regangan (streech) yang berlebihan.

B.    PATOFISIOLOGI.
Adalah daya yang tidak semestinya yang diterapkan pada otot, ligament atau tendon. Daya (force) tersebut akan meregangkan serabut-serabut tersebut dan menyebabkan kelemahan dan mati rasa temporer serta perdarahan jika pembuluh darah dan kapiler dalam jaringan yang sakit tersebut mengalami regangan yang berlebihan.

C.    TANDA DAN GEJALA.
-      Kelemahan
-      Mati rasa
-      Perdarahan yang ditandai dengan :
-      Perubahan warna
-      Bukaan pada kulit
-      Perubahan mobilitas,stabilitas dan kelonggaran sendi.
-      Nyeri
-      Odema

D. PENANGANAN.
Kelemahan biasanya berakhir sekitar 24 – 72 jam sedangkan mati rasa biasanya menghilang dalam 1 jam. Perdarahan biasanya berlangsung selama 30 menit atau lebih kecuali jika diterapkan tekanan atau dingin untuk menghentikannya. Otot, ligament atau tendon yang kram akan memperoleh kembali fungsinya secara penuh setelah diberikan perawatan konservatif.

E. RENCANA PERAWATAN.
1.    Kemotherapi.
Dengan analgetik seperti Aspirin (300 – 600 mg/hari) atau Acetaminofen (300 – 600 mg/hari).
2.    Elektromekanis.
- Penerapan dingin.
Dengan kantong es 24 0C
-  Pembalutan atau wrapping eksternal.
  Dengan pembalutan atau pengendongan bagian yang sakit.
- Posisi ditinggikan atau diangkat.
Dengan ditinggikan jika yang sakit adalah ekstremitas.
- Latihan ROM.
Latihan pelan-pelan dan penggunaan semampunya sesudah 48 jam.
 Penyangga beban.
Semampunya dilakukan penggunaan secara penuh.


SPRAIN (KESELEO )

A. PENGERTIAN.
Adalah kekoyakan pada otot, ligament atau tendon yang dapat bersifat sedang atau parah.

B. PATOFISIOLOGI.
Adalah kekoyakan ( avulsion ) seluruh atau sebagian dari dan disekeliling sendi, yang disebabkan oleh daya yang tidak semestinya, pemelintiran atau mendorong / mendesak pada saat berolah raga atau aktivitas kerja.
Kebanyakan keseleo terjadi pada pergelangan tangan dan kaki, jari-jari tangan dan kaki. Pada trauma olah raga (sepak bola) sering terjadi robekan ligament pada sendi lutut. Sendi-sendi lain juga dapat terkilir jika diterapkan daya tekanan atau tarikan yang tidak semestinya tanpa diselingi peredaan.

C. TANDA DAN GEJALA.
- Sama dengan strain (kram) tetapi lebih parah.
- Edema, perdarahan dan perubahan warna yang lebih nyata.
- Ketidakmampuan untuk menggunakan sendi, otot dan tendon.
- Tidak dapat menyangga beban, nyeri lebih hebat dan konstan.

D. RENCANA PERAWATAN.
1. Pembedahan.
Mungkin diperlukan agar sendi dapat berfungsi sepenuhnya; pengurangan-pengurangan perbaikan terbuka terhadap jaringan yang terkoyak.
2. Kemotherapi.
Dengan analgetik Aspirin (100-300 mg setiap 4 jam) untuk meredakan nyeri dan peradangan. Kadang diperlukan Narkotik (codeine 30-60 mg peroral setiap 4 jam) untuk nyeri hebat.
3. Elektromekanis.
 - Dengan kantong es 24 0C
àPenerapan dingin
- Pembalutan / wrapping eksternal.
Dengan pembalutan, cast atau pengendongan (sung).
- Posisi ditinggikan.
Jika yang sakit adalah bagian ekstremitas.
- Latihan  ROM.
Tidak dilakukan latihan pada saat terjadi nyeri hebat dan perdarahan. Latihan pelan-pelan dimulai setelah 7-10 hari tergantung jaringan yang sakit.
- Penyangga beban.
Menghentikan penyangga beban dengan penggunaan kruk selama 7 hari atau lebih tergantung jaringan yang sakit.


STUDI DIAGNOSTIK.
a. Riwayat :
- Tekanan
- Tarikan tanpa peredaan
- Daya yang tidak semestinya
b. Pemeriksaan Fisik :
Tanda-tanda pada kulit, sistem sirkulasi dan muskuloskeletal .


ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN
STRAIN DAN SPRAIN

I. PENGKAJIAN.
1. Identitas pasien.
2. Keluhan Utama.
Nyeri, kelemahan, mati rasa, edema, perdarahan, perubahan mobilitas / ketidakmampuan untuk menggunakan sendi, otot dan tendon.
3. Riwayat Kesehatan.
a. Riwayat Penyakit Sekarang.
- Kapan keluhan dirasakan, apakah sesudah beraktivitas kerja atau setelah berolah raga.
- Daerah mana yang mengalami trauma.
- Bagaimana karakteristik nyeri yang dirasakan.
b. Riwayat Penyakit Dahulu.
Apakah klien sebelumnya pernah mengalami sakit seperti ini atau mengalami trauma pada sistem muskuloskeletal lainnya.
c. Riwayat Penyakit Keluarga.
Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini.
4. Pemeriksaan Fisik.
a. Inspeksi :
- Kelemahan
- Edema
 perubahan warna kulit
ào Perdarahan
- Ketidakmampuan menggunakan sendi
b. Palpasi :
- Mati rasa
c. Auskultasi
d. Perkusi.
5. Pemeriksaan Penunjang.
Pada sprain untuk diagnosis perlu dilaksanakan rontgen untuk membedakan dengan patah tulang.


II. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL.
1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri / ketidakmampuan, ditandai dengan ketidakmampuan untuk mempergunakan sendi, otot dan tendon.
Tujuan :
- Meningkatkan / mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin.
- Menunjukkan teknik memampukan melaksanakan aktivitas ( ROM aktif dan pasif ).
Intervensi :
- Kaji derajat mobilitas yang dihasilkan oleh cedera / pengobatan dan perhatikan persepsi pasien terhadap mobilisasi.
- Ajarkan untuk melaksanakan latihan rentang gerak pasien / aktif pada ekstremitas yang sehat dan latihan rentang gerak pasif pada ekstremitas yang sakit.
- Berikan pembalutan, pembebatan yang sesuai.
2. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan atau kekoyakan pada otot, ligament atau tendon ditandai dengan kelemahan, mati rasa, perdarahan, edema, nyeri.
Tujuan :
- Menyatakan nyeri hilang.
Intervensi :
- Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips dan pembalutan.
- Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena.
- Pemberian kompres dingin dengan kantong es 24 0C.
- Ajarkan metode distraksi dan relaksasi selama nyeri akut.
- Berikan individu pereda rasa sakit yang optimal dengan analgesik.

3. Gangguan konsep diri berhubungan dengan kehilangan fungsi tubuh.
Tujuan :
-Mendemonstrasikan adaptasi kesehatan, penanganan keterampilan.
Intervensi :
- Dorong individu untuk mengekspresikan perasaan khususnya mengenai pandangan pemikiran perasaan seseorang.
- Dorong individu untuk bertanya mengenai masalah, penanganan, perkembangan, dan prognosa kesehatan.
- Berikan informasi yang dapat dipercaya dan perkuat informasi yang sudah diberikan.
- Hindari kritik negatif.
- Beri privasi dan suatu keamanan lingkungan.





Daftar Pustaka

Rachmadi, Agus. 1993. Perawatan Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Penerbit : AKPER Depkes, Banjarbaru.

Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Penerbit : EGC, Jakarta.

Nurachman, Elly. 1989. Buku Saku Prosedur Keperawatan Medical Bedah. Penerbit : EGC, Jakarta.

Carpenito, Lynda Juall. 1999. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8 . Penerbit : EGC, Jakarta.